Cerita ini dibuat waktu gue kelas 2 SMA
KENYATAAN DARI MATA DAN HATIKU TETANG SAHABAT
“Shin, kamu udah ngerjain PR Matematika belum?” Tanya Yona ketika Shina sampai di kelas. Kebiasaan Shina datang ngepas dan malas mengerjakan PR Matematika meski dikasih satu soal doang.
“Mangnya ada PR Mat ya? Gue lupa tuh na. pinjem PR lo dong.” Ucap Shina santai sambil mencari buku PRnya dari dalam tas selemapangnya.
“Nih..” Yona langsung menyediakan contekan PR Matematika.
Tettt!!!
Bel masuk berbunyi. Shina langsung ngebut menyalin jawaban dari buku PR Yona. Keahlian Shina memamng menyalin jawaban PR atau ulangan secepat mesin fotocopy.
“Yona, liatin ye.. kalo-kalo guru udah dateng.” Shina memperketat penglihatannya dengan meminta bantuan Yona.
“Sip, Shin-chan…”
“Yee… gue bukan Shinchan.” Shina sedikit sewot dipanggil dengan nama Shinchan.
Untungnya guru Matematika datangnya agak terlambat. Jadi memberikan kesempatan kepada orang-orang sejenis Shina untuk menyalin jawaban PR selama 15 menit tambahan waktu mencontek.
Bu Umu sudah datang, buru-buru Shina mengembalikan buku PR kepada Yona yang duduk dibelakangnya.
“Thanks Yona.”
“Sama-sama Shin-chan.” Yona tersenyum menggoda Shina.
“Hmm…” Shina sepet.
“Oke hari ini ngebahas PR kemarin, anak-anak.” Bu Umu berucap. “sekarang siapa yang mau mengerjakan di papan tulis tanpa buku jawaban PR, hanya dengan textbook?”
Semua hanya terdiam. Malas. Tapi ternyata ada juga yang menunjuk jari.
“Saya Bu!” Yona menunjuk dirinya dan bersedia mengerjakan di papan tulis.
Yona mulai mengerjakan di papan tulis dan sukses. Yona memang siswi terajin di kelas 2-IPA4. Terutama rajin mengukir jawaban Matematika di papan tulis. Dia memang jagoan Matematika.
Sedangkan Shina, paling benci yang namanya Matematika. Sampe pingin banget ngutuk penemu Matematika selain tambah-kurang-bagi-kali, soalnya nambah benang kusut di otak Shina.
***
Suara gaduh dari kelas 2-IPA4 mulai terdengar lagi. Alasannya dari rengekan Yona dilanjutkan geraman kesal Shina karena kejahilan anak kelas sebelah, Raflen.
“Yona lo nggak OR lagi. Lo punya penyakit ya ampe nggak pernah ngikut OR. Cantik, pinter, tapi kok lemah.” Ucap Raflen yang awalnya hanya iseng nebak kalo Yona penyakitan. Padahal tidak tahu kebenarannya.
Yona yang agak cengeng langsung meneteskan air mata.
“Eh banci! Lo beraninya ama cewek! Kurang ajar!” muka Shina langsung jadi beringas nantang Raflen.
“Uh dasar gorilla.” Raflen membalas dan langsung ngabur biar nggak kena gebukan Shina yang pemarah itu.
“Yee manusia tulang!” Shina nggak mau nyari ribut, memilih menghibur Yona.
Yona masih menangis meringis.
“Udah na. anggap aja tadi setan lewat dah. Dasar tuh anak kerempeng. Gue peres, tambang gepeng deh..” Shina berniat menghibur. Ternyata hiburan Shina berhasil, Yona tertawa.
“Makasih Shina.”
“Nah gitu dong.”
Peristiwa ini sudah sering terulang setiap harinya. Tak tahu mengapa, Raflen demen banget bikin Yona nagis. Padahal Raflen udah tau Yona cengeng, dan disamping Yona ada bodyguard bak gorilla yang siap menghantamnya kapan saja. Bener-bener nyari mati.
***
Pulang sekolah, Shina jalan sendirian. Soalnya Yona sudah dijemput sama abangnya naik motor, jadi nggak bisa nebeng. Huh terpaksa pulang sendirian. Padahal biasanya Yona dijemput sama sopir naik BMW, ya orang kaya, bisa nebeng lah.
Shina harus melewati jalan angker bukan karena banyak setannya (siang bolong begini sih, mana keliatan), tapi karena biasanya banyak setan jalanan alias preman yang suka nongol tiba-tiba. Sudah begitu sepi pula.
Sekuat apapun Shina, mana bisa melawan preman gayung begituan. Musti hati-hati aja deh. Habis biasanya Shina nggak pernah lewat situ gara-gara nebeng Yona dan lewat jalan alternative yang bising.
“Tobat gue… tobat…” dalam hati Shina berdoa biar nggak ada preman tiba-tiba muncul. Bisa-bisa Shina kebabat abis sama preman. Apalagi kalo ampe diperkosa, hi ogah dah.
“Hatchim…!” suara bersin dari arah depan.
“Astaga…” Shina tersentak. “mampus gue…”
Sesosok preman muncul dari arah sebaliknya. Ketika preman itu melihat Shina, tampang mesum tuh preman langsung muncul. Shina terlihat seperti mangsanya.
“Oh My God. Kenapa gue lewat sini sih? Tolol…” Shina nyesel. Terkadang Shina pengen jalan pintas sampe di rumah. Tetapi jalan pintas, nggak selamat sampe tujuan.
“Hei cewek…”
“Nggak ada tampang lu…” Shina kecoplosan. “Ets…”
Kayaknya tuh preman dengar. Dia makin mendekat.
“Lumayan lo….” Hih tampangnya makin criminal.
“Heh ngaca dulu dong lo!” Shina mulai sok jago. Padahal dalam hatinya minta tolong.
“Cewek tengil, berani ama gue…?” Preman itu mulai meremas tangan Shina.
“Goblok, lepasin gue!”
“Mumpung sepi.”
“Brengsek…” Shina mencoba melepaskan tangannya dari cengkraman preman gayung itu. “tampang lo ke laut aja…”
“Berani banget lo!”
Preman tersebut mulai berniat kasar terhadap Shina.
“Heh setan lo!!” teriak Shina lumayan kenceng. Shina nggak akan mau minta tolong blak-blakan dalam kondisi seperti ini. Kelihatan lemah.
“Woi!!” seseorang datang dari arah belakang. Suara cowok yang nggak asing di telinga Shina.
Preman itu melepaskan tangan Shina dan berniat melawan orang yang tengah mengganggu kesenangan mesumnya itu.
“Lo nggak apa-apa kan Shin?”
Shina menoleh.
Sesosok cowok yang dibencinya sampai saat ini karena keusilan abadinya, Raflen. Ia tersenyum tapi terlihat khawatir.
Preman itu mengayunkan tangannya ke arah wajah Raflen. Tapi Raflen langsung menghadang dengan cekatan. Dan membalas sukses ke wajah preman pasar itu.
Buk! Bak! Buk!
Mereka saling membalas pukulan. Shina hanya terpaku melihat. Entah perasaan apa yang datang di hati Shina setelah Raflen menolongnya.
Beberapa menit kemudian, mereka sudah kelelahan. Dan berhenti.
“Shin… ayo kita lari, Shin!” Raflen langsung menarik tangan Shina untuk berlari. “dia bakal manggil temen-temennya.”
“Eh, iya.” Shina sedikit kelimpungan. Tanpa banyak piker, ia mengikuti kata-kata Raflen untuk lari.
“Sialan lo!!!” seru preman itu ketika mereka sudah menjauh.
Mereka memastikan bahwa memang sudah benar-benar jauh dari sarang preman itu.
“Shin. Lo nggak kenapa-kenapa kan Shin?” Raflen cemas. “kenapa sih tadi lo nggak teriak minta tolong? Duh untung kebetulan gue lewat situ… kalo nggak?”
“Kalo nggak apa?!” seru Shina malah marah-marah. “gue mati?! Babak belur?! Gue tadi nggak minta tolong sama lo?!! Lonya malah kegeeran nyelonong dateng!!” sifat Shina emang kayak gitu. Kalo udah sebel sama seseorang, susah deh baiknya.
“Gue sebenernya juga nggak mau nolongin lo! Itu juga terpaksa!” Raflen yang babak belur jadi BT. Nggak mau kalah. Ini cewek udah ditolongin malah marah-marah. Nggak tau rasa terima kasih apa?!! Batin Raflen.
“Jangan harap gue bakal terkesan sama pertolongan ala pahlawan kesiangan gitu! Sori aja! Nggak jaman tau nggak!”
“Gue nggak mau dikesanin sama cewek nggak tau balas budi kayak lo!”
“Peduli banget ama lo!!” Shina langsung ngeluyur pergi.
“Kalo gue tau lo bakal nggak tau rasa terima kasih begini. Gue nggak bakal ladenin lo!” seru Raflen dari kejauhan.
Ugh nyesek! Sebenernya gue nggak mau rebut begini sama Raflen. Gue pengen ngucapin terima kasih, tapi kok nggak keluar-keluar dari mulut gue ya? Batin Shina.
“I… iya! Gue kalah! Thank you Raflen!” walaupun dengan tampang tetap geram, akhirnya Shina sukses juga mengucapkan kata ajaib itu. Shina langsung berlari. Malu.
Raflen hanya tersenyum. Ternyata tuh anak nggak seiblis yang gue kira. Tapi badannya sakit semua begini. Bonyok sana, bonyok sini. Coba Shina sedikit feminism, pasti Raflen kena jatah diobatin. Ngarepin juga nggak mungkin.
***
“Hah? Si Raflen nolongin pas lo dicegat preman?” Yona agak kaget ketika mendengar cerita Shina. Shina hanya mengangguk dan sedikit nggak percaya. Nggak percaya kalau dia telah mengucapkan terima kasih kepada Raflen.
“Wah pertanda baik.” Goda Yona.
“Pertanda baik apaan! Pertanda buruk iya. Pasti dia bakal ngungkit terus kelemahan gue yang nggak bisa ngelawan tuh preman. Paling-paling entar dia bilang…”
“Yah… gorilla nggak bisa lawan badak…” suara Raflen tiba-tiba muncul ketika Shina baru mau melanjutkan kata-kata berikutnya.
“Baru aja diomongin langsung nyamber. Nih anak emang nggak pernah kapok nyari rebut ma gue…” Shina langsung bangkit dari duduk dan menghampiri Raflen buat dijotos sebagai balasan kata-katanya yang bikin Shina emosi.
Dari kejauhan Yona hanya memandang sambil tertawa.
Shina dan Raflen kayak kucing dan anjing yang nggak pernah akur. Dikit-dikit berantem padahal hanya hal sepele.
“Hih! Gue bener-bener benci sama Raflen kerangka idup itu.” Shina sudah selesai berantem soalnya Raflen langsung kabur. Nggak tahan sama bogeman Shina.
“Jangan bilang gitu… ngg… Raflen itu sebenernya baik kok.”
“Baik. Kayak gitu baik? Dia sering ngejahilin lo, dibilang baik. Ih ke laut aja deh!”
“Shin jangan gitu. Entar jadi suka lho.”
“Suka? Walaupun di dunia ini tinggal gue dan dia, mendingan gue kawin sama kodok daripada sama tuh anak…”
***
Sore hari, Shina berjalan-jalan dengan adik laki-lakinya yang paling kecil. Paling enak memang jalan sore-sore sambil makan es krim.
EH? Shina tersentak.
Seseorang yang ia kenal dan ia benci. Raflen lagi, Raflen lagi. Shina emang makin eneg melihat dia. Tapi dia sedang membopong seorang wanita yang kelihatannya tak sadarkan diri. Sebuah pemandangan yang tak biasa.
“Raflen!” panggil Shina kemudian menghampirinya.
“Shin.”
“Siapa dia?”
“Dia tiba-tiba pingsan di jalan. Gue berniat bawa dia ke rumah sakit, cegat taxi dong.”
“Eh… iya, iya…”
Shian memanggil taxi dan mereka langsung menghantarkan wanita itu ke rumah sakit terdekat.
Ternyata wanita setengah baya itu berpenyakit jantung bawaan. Kata dokter, jika wanita itu tak cepat dibawa ke rumah sakit. Mungkin semuanya akan terambat.
Berkat Raflen, wanita itu cepat tertolong. Sanak keluarga dari wanita itupun langsung bergegas dating dan beribu-ribu kali mengucapkan terima kasih kepada Raflen, malaikat penolong bagi mereka. Tak segan-segan Raflen diberikan uang saku sebagai ucapan terima kasih yang dalam, tapi ia menolak pemberian mereka, dan berkata, “Berterima kasihlah sama Tuhan, saya hanya perantara.”
Begitu Shina mendengar kata-kata Raflen, Shina langsung tertegun dan… terkesan?
Walaupun tingkah laku di sekolah udah kayak manusia nyerempet iblis. Tapi ternyata hatinya sejernih malaikat.
“Shina makasih ya tadi udah mau bantuin gue.”
“Eh nggak papah kok. Santai aja.”
“Ya gue takut lo marah karena ngerepotin lo.”
“Nggg…Gue nggak marah. Malah terkesan sama lo. Lo cepat tanggap dan baik…~~” suara Shina sedikit tercekat. Terbata-bata.
“Hmmm… tumben ngomong begitu. Sekali lagi, makasih ya Shin.”
Shina hanya tertegun melihat pesona wajah Raflen yang terpancar karena kebaikan hatinya.
***
Shina nggak habis piker, kenapa tadi malam dia terus memikirkan si anak bejat, Raflen. Sampe-sampe kebawa dalam mimpi segala. Mimpinya norak banget. Di dunia mimpi mereka kejar-kejaran di sebuah taman kayak di film Bollywood gitu. Idih, bagi Shina itu sama aja dengan mimpi buruk.
“Yona… gue heran deh. Kenapa akhir-akhir ini gue mikirin Raflen melulu?” ucap Shina setengah berbisik.
“Masa sih? Itu artinya lo suka ma dia, Shin. Cinta…”
“Cinta? Idih..”
“Oke. Gue tes lo ya. Pas lo ketemu dia,deg-degan nggak?”
“Iya, lumayan.”
“Kalo lo nggak ketemu sehari aja. Lo merasa nyariin dia nggak?”
“Hmm.. kayaknya gue emang nyariin dia sih. Soalnya udah lama ini gue nggak berantem lagi sama dia.”
“Kalo ngomong sama dia ngerasa terbata-bata nggak?”
“Iya sih, biasanya normal. Tapi akhir-akhir ini susah ngomong kayak dulu, dengan gampangnya nyerocos.”
“Kalo dia deket sama cewek lain, lo ngerasa sebel nggak?”
“Kayaknya sih gitu. Kemaren gue ngatain dia playboy kerempeng nggak keurus waktu dia bercanda sama Lisa.”
“Positif Shin. Lo itu jatuh cinta sama Raflen.”
“Apa? Ya ampun, gue kena virus begituan!” Shina langsung telak. Pasrah. Shina juga merasa yakin jatuh cinta seperti yang dikatakan Yona. Jadi ini toh yang namanya first love yang tumbuh dari rasa benci.
“Kamu tau nggak Shin. Benci dan cinta itu, bedanya tipiss banget…” kata Yona sambil ngomongnya tuh gimana gituh.
“Tipis? Nggak ada bedanya dengan perbedaan antara orang jenius dan orang gila kan.” Tebak Shina.
“Seratus!”
“Tapi gue yakin gue nggak jatuh cinta sama dia.” Shina mulai munafik. Yona hanya bisa diam dengarkan kemunafikan Shina.
*to be continued*
0 comments:
Post a Comment