CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Friday, November 21, 2008

CINTA DIANTARA DUA *BAB SATU*

…Cinta diantara dua…

(Terinspirasi berdasarkan kisah nyata)

BAB 1 YANG TAKKAN HILANG

Cirebon, 3 Juli 2007 16:44. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, hidupku terkadang terasa hampa. Aku hidup sendirian di kota ini. Kota ini bukan kota metropolitan yang pernah aku tinggali 3 tahun lalu. Ini hanya salah satu kota besar di Jawa Barat. Aku hidup sendirian di kota Cirebon sudah 2 tahun tanpa sanak saudara. Aku remaja yang berusaha hidup di tengah dunia yang luas. Tanpa orang tua, tanpa kakak ataupun adik. Tapi aku bersyukur memiliki teman-teman dan sahabat yang memperhatikan aku. Bahkan mengganggap aku sebagai saudara. Jadi aku tidak merasa seorang diri lagi.

Aku hidup dalam rumah sempit seorang diri, walau tak jarang beberapa teman laki-laki ikut menginap. Menemaniku agar aku tak merasa kesepian. Mereka semua memiliki rasa empati terhadapku. Tak heran aku selalu berdoa agar aku tak kehilangan lagi orang-orang yang aku kasihi.

Iya, aku telah kehilangan orang yang aku kasihi. Orangtuaku, ayahanda dan ibunda. Aku pun seorang diri karena aku anak tunggal. Sepi sekali. Ah, tapi itu dulu. Tepatnya bulan September, 3 tahun yang telah berlalu. Aku teringat kembali, kenangan pahit yang menyekik hatiku, terasa dingin membeku tubuhku. Namun Tuhan telah menyisipkan kenangan indah tentang dia… seseorang yang telah menghiburku saatku terjatuh, dimanakah dia sekarang.

***

Jakarta, 31 Agustus 2004 Hari itu tidak seperti hari Selasa yang pernah aku lalui sebelumnya. Selasa pagi aku mendengar berita lisan yang sangat menyayat hatiku. Lewat pesawat telepon, seseorang memberitahuku bahwa ibu pingsan di jalan saat hendak pergi ke kantor. Ibu harus bekerja keras seorang diri demi aku. Karena di awal tahun 2004, ayah meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas akibat kecerobohan supir bus ugal-ugalan yang menabrak ayah saat mengendarai mobil tuanya. Meskipun ayah telah mewariskan hartanya kepada aku dan ibu, beliau harus tetap bekerja keras demi kehidupan keluarga di hari esok.

Saat itu aku baru tahu bahwa ibu mengidap kanker darah yang sudah menginjak stadium akhir. Ibu harus tinggal dirumah sakit karena takkan sanggup lagi mengerjakan pekerjaan hariannya baik di rumah maupun di kantor. Dengan asuransi kesehatan dari kantornya, tak terlalu cukup untuk membiaya pengobatan rumah sakit. Aku pun yang masih duduk di kelas 1 SMA harus merelakan diri bekerja sesudah pulang sekolah menjadi buruh pabrik. Hingga satu bulan kemudian, ibu menghembuskan napas terakhirnya di kamar perawatan rumah sakit dan berpesan padaku, “Ruben… jaga diri kamu baik-baik ya nak. Ibu dan ayah hanya bisa mengawasi dari kejauhan.”

Tanggal 28 September 2004, aku kehilangan semuanya. Tangisku pecah dalam keheningan rumah sakit. Aku benci rumah sakit, disana tempat manusia yang keadaan lemah dan menunggu keadaan dirinya pulih atau harus pergi dari dunia.

Keesokan harinya, ibu yang lebih terlihat seperti tertidur dimakamkan disamping makam ayah. Sepanjang pemakaman berlangsung aku menangis tanpa suara. Semua orang menanamkan rasa dukacita yang mendalam terhadapku. Begitu juga dengan teman SMA di Jakarta.

“Ruben, gue turut berduka cita…” ucap Cheila kepadaku. Dialah satu-satu teman cewek yang dekat denganku. Aku sempat digosipkan pacaran dengannya, karena kami berdua sama-sama masih jomblo, tapi seiring angin berhembus gosip itu pun hilang soalnya kenyataannya kami sekedar sahabat baik. Tapi aku juga kurang memahami isi hatiku yang sebenarnya, terkadang aku merasakan getaran hati.

“Makasih Cheila…” aku pun mengusap air mata yang tadinya mengalir terus. Aku ingin terlihat tegar di depan Cheila. Cheila juga banjir air mata. Mungkin karena Cheila cukup dekat dengan ibu kalau ia mampir ke rumahku untuk kerja kelompok bersama teman yang lainnya.

“Yang tabah ya Ruben.” Beberapa teman SMA berusaha menghiburku juga. Tapi itu jelas tak dapat menghiburku. Aku sendirian. Aku kehilangan lagi. Sesudah hari ini apa yang akan terjadi pada diriku. Apa yang harus aku lakukan. Usiaku baru 15 tahun, apa yang bisa dilakukan oleh anak usia segitu tanpa orangtua disisinya. Aku bingung.

Semua sanak keluarga ayah maupun ibu berada di luar kota Jakarta. Bahkan ada yang di luar negeri. Hanya ada beberapa sanak keluarga ibu yang sempat berkunjung karena peristiwa mendadak hari ini. Namanya Om Rudi. Ia adik kandung ibu yang masih bujangan, kebetulan sedang cuti pekerjaannya di Singapura untuk liburan di Indonesia.

“Om akan cuti lebih lama. Om akan bantu kamu mengurusi warisan ayah dan ibu kamu. Terutama rumah peninggalan almarhum ayah kamu, sebaiknya dijual untuk kehidupan dan pendidikan kamu. Om akan buka tabungan untuk kamu, dan kamu harus tinggal bersama eyang di Jawa Barat. Juga kamu harus pindah sekolah disana tentu saja.” Ujar Om Rudi dengan serius. Tangisku masih terisak. “maaf ya Ruben, om nggak bisa jagain kamu untuk waktu lama, karena om harus bekerja ikatan dinas di Singapura untuk waktu 4 tahun. Mungkin setahun dua kali om bisa ngunjungin kamu.”

“Iya om. Ruben akan turuti kata-kata om. Ruben sedih banget… nanti Ruben sendirian…” aku terus terisak. Padahal selama ini aku tak pernah menangis. Sewaktu kepergian ayah pun aku menahan air mata yang hampir keluar dari pelupuk mataku. Namun sekarang aku ga bisa nahan, karena aku telah kehilangan separuh nafasku.

“Kamu nggak sendirian, kamu masih punya om, eyang putri, eyang kakung, saudara-saudara kamu, dan teman-teman kamu. Kamu pasti bisa melalui kehidupan kamu, Ruben.”

Aku hanya mengangguk sambil merasa pesimis. Apa benar aku bisa melaluinya dengan mulus?

Aku masih memiliki beberapa minggu tinggal di Jakarta. Aku memanfaatkan sebaik-baiknya untuk mendekatkan diri dengan teman-teman yang aku sayangi. Terutama bersama Cheila.

Cheila Saputri, gadis yang ramah dan sangat baik hati. Ia manis, wajahnya enak dipandang saat ku sedang bersedih karena wajahnya mengandung kesejukan apalagi jika ia tertawa. Terlebih lagi ia cukup pintar untuk menjawab 20 soal Matematika logika secara 100% benar. Kedekatan ku dengannya dimulai ketika MOS berlangsung. Tahun 2004 masih jaman senioritas dalam kehidupan SMA. Tentu saja MOS-nya macam-macam, seperti menggunakan tas yang terbuat dari karung beras, para siswi yang rambutnya panjang diikat jadi 3 seperti oneng, dan lain-lain yang bikin kita jadi sibuk sendiri.

Kebetulan ternyata rumahku dan Cheila satu kompleks, hanya berbeda blok. Aku blok I, ia blok K. Sejak MOS kami selalu pulang bareng, dan kami semakin berteman dekat. Cheila juga sering mampir kerumah aku untuk belajar masak dengan ibu yang masakan buatannya memang paling enak sedunia. Tapi koki hebat sedunia sudah tak ada disampingku.

“Ruben… lo mau pindah dari Jakarta ya?” tanya Cheila dengan suara parau.

Kami berbincang di rumahku yang sudah hampir tak ada isinya. Tinggal sandang milikku, rice cooker, kompor, 2 piring-gelas-sendok-garpu yang disisakan untukku. Semua yang masih bisa dijual telah dijual oleh Om Rudi. Barang-barangku sudah dikirim ke rumah eyang. Barang kedua orangtua seperti pakaian, disumbang ke panti ataupun ke orang-orang tidak mampu. Yang dapat aku simpan sebagai kenang-kenangan hanya foto mereka.“Iya… sekitar 2 minggu lagi gue akan pindah rumah dan sekolah di Cirebon. Gue akan menetap disana karena rumah ini harus dijual untuk ngebiayain kehidupan dan sekolah gue. Sebenernya gue nggak mau pergi dari sini, tapi gue harus.”

“Apa kita masih bisa berteman?” Cheila kelihatan pesimis tak dapat bertemu denganku lagi.

“Tentu saja kita masih bisa temenan, kan ada HP, kita bisa SMS-an atau telpon-telponan. Ya kan?!”

“Ketemunya?”

“Kita juga masih bisa ketemu walau nggak sesering sekarang. Yang penting kita tetep kontekan.”

“Lo mau kan janji sama gue, jangan pernah lupain gue ya.”

“Iya gue janji. Gue nggak akan pernah lupa sama lo. Lagipula masih ada waktu 2 minggu kan untuk kita lebih sering lagi ketemu sampai waktunya gue pergi dari sini.”

“Bener ya… lo janji ya, dan gue juga janji akan nemenin lo selama 2 minggu, lo nggak akan kesepian selama 2 minggu ini.” Aku melihat kesungguhan dimata Cheila. Mata yang sangat berempati, dan bukan pandangan seorang sahabat biasa.

Aku pun merasakan semua perhatian Cheila. Selama 2 minggu ini, Cheila menemaniku saat ku merasa sepi. Dia mendengar keluh kesahku lebih dalam lagi. Semua rasa pesimisku, dan dia menyemangati aku lagi. Tanpa tersadar dirinya terpancar kehangatan yang membuatku nyaman. Dada ini selalu bergetar saat memandangnya, saat mendengar celoteh kecilnya.

Perasaan ini timbul disana hari terakhir kebersamaan aku dan Cheila. Aku sudah membenahi semua barang terakhir di rumah peninggalan almarhum kedua orang tuaku yang akan dijual untuk membiayai kehidupanku selanjutnya. Truk pengangkut sudah datang, Om Rudi setengah jam lagi datang untuk menjemputku dan langsung menghantarkan aku ke rumah eyang di Jawa Barat.

“Ruben… aku nggak nyangka secepat ini kamu akan pergi..” ucap Cheila menggunakan bahasa aku-an beraut sedih.

“Maafin aku Cheil.”

“Daripada nanti aku nyesal… ada yang ingin kusampaikan..”

“Apa itu Cheil?”

“Ini untuk kamu…” Cheila memberikan sebuah kotak berbentuk hati besar. “Ruben… aku suka kamu dari dulu…” Sebuah kecupan hangat hadir di pipiku. Aku terkaget. Cheila pun langsung berlari pergi meninggalkanku yang terdiam di situ. Hanya terdiam tanpa mengejarnya… padahal saat itu perasaanku kepada Cheila juga sama.

Isi kotak hati besar itu adalah lipatan burung bangau kertas yang berjumlah seribu. Dan sepucuk surat yang mengungkapkan perasaan yang sederhana dan tulus…

Dear Ruben…

Maaf begitu tiba-tiba aku ungkapkan ini… aku suka kamu sejak pertemanan kita yang begitu erat… Tapi aku takut mengungkapkannya… Aku senang dekat denganmu…

Begitu syok saat aku denger kamu mau pergi… aku mempunyai rasa empati besar kepadamu… Aku hanya bisa mengungkapkannya dengan ini… 1000 bangau ini artinya cinta yang sudah kubuat dan kupendam lama… walaupun aku nggak tau perasaan kamu…

Aku sedih kamu pergi… tapi aku percaya dengan janji kamu… Aku nggak akan pernah lupakan kamu sebagai sahabat dan seseorang yang aku sayang.

With Love,… Cheila

Ps. 0856110331xx (ini no. hp aku)

Aku sangat menyesal hari terakhir itu aku tak mengungkapkan perasaanku, aku merasa sangat bodoh. Mungkin lain kali aku bisa menyatakan perasaanku yang tak sempat kuucapkan. Dia takkan pernah hilang dari ingatan dan perasaanku.

***

Masih Cirebon, 3 Juli 2007 tapi sudah pukul 17:02 karena lamunanku. Tiga tahun telah berlalu semenjak aku berpisah dengan Cheila. Tiga tahun pula aku kehilangan kontak dengannya sejak pertama. Aku rasa nomor handphone yang telah ia bubuhkan di suratnya tidak berguna. Seminggu kemudian aku baru ingin menghubunginya karena baru dibelikan handphone oleh Om Rudi. Nomor yang diberikan Cheila tidak dapat dihubungi. Aku belum menyerah. Setiap hari selama kurang lebih sebulan aku berusaha menghubunginya, tapi tetap saja tak dapat dihubungi. Aku tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Apalagi Cheila juga tak tahu nomor handphone-ku, sedangkan catatan semua nomor handphone teman-teman lamaku di Jakarta ketinggalan di lemari besar yang terbuat dari kayu jati, yang telah dijual kembali dengan harga yang lumayan. Aku tak tahu keadaannya sekarang. Apa ia menangis menantiku? Ataukah dia bahagia bersama pacar barunya? Aku tak tahu. Aku hanya berharap Cheila dalam keadaan baik-baik saja.

Selama setahun aku tinggal dengan eyang putra dan eyang putri. Tetapi 2 tahun yang lalu mereka pergi berobat ke Malaysia. Dan rumah tersebut harus dijual untuk pengobatan kedua eyangku. Dengan sebagian uang hasil penjualan rumah warisan kedua orangtuaku dibantu Om Rudi, aku membeli rumah sangat sederhana ini dengan satu kamar, satu kamar mandi, satu ruang santai (di-dwifungsi sebagai ruang tamu), dan satu dapur kecil dengan halaman yang kecil sebagai lahan tumbuhan.

Sekarang aku masih duduk di kelas 3 SMA, yang seharusnya aku sudah lulus sekolah. Tetapi aku melakukan beberapa masalah yang membuatku tinggal kelas. Ya beginilah kehidupan anak yang sebatang kara. Tak ada yang memperhatikan seluruh kehidupanku. Aku bebas bertindak apa saja. Bahkan yang terjahat pun. Misalkan aku sering keluar malam, ke clubbing bersama teman-temanku yang tentu saja berjiwa hura-hura. Di tempat clubbing bukan tidak mungkin aku ikut mencicipi alkohol dan drugs yang cukup membuatku melayang ke surga. Aku juga terjerat dalam pergaulan bebas, melakukan free-sex dengan teman sebayaku tanpa perasaan sayang atau cinta. Tak ada yang memperhatikan aku selama 2 tahun, tetapi setelah aku divonis tidak lulus Ujian Akhir Nasional dan karena seseorang yang baru saja menyentuh kehidupanku. Seperti Cheila namun dia bukan Cheila, cinta pertamaku. Dia adalah Mika Agnatha.

***

TWO SIDES WORLD *BAB DUA*

2. Hurting Heart

Sabtu, 11 November 2006

Dyon sudah nggak bisa menahan diri untuk bertemu dengan Eza. Maka, Dyon pun meminta bantuan Rio supaya mempertemukan dirinya dengan Eza. Dengan segala cara yang dibuat oleh Rio, akhirnya Eza pun mau bertemu dengan Dyon, yang sampai saat itu masih berstatus pacaran.

Dyon terlalu cepat datang di tempat janjian, di bilangan Gatot Subroto. Alhasil Dyon menunggu kedatangan Rio dan Eza. Dyon berpikir positif, pasti karena kemacetan lalu lintas kota Jakarta tercinta ini. Jadi jam 3 (waktu janjian) sudah terlewat.

Menunggu… lagi…? Kasian banget jadi orang kayak Dyon.

“Eh itu dia, Dyon!” Rio memanggil dari kejauhan. Dyon terlihat seperti kambing congek. Rio dan Eza baru sampai… naik bus umum.

Dyon hanya menatap, setengah senang, setengah dongkol ditambah sakit hati nunggu lagi… 3 jam + ½ jam… 3 ½ jam menunggu Eza.

“Eh... baru dateng ya.” Dyon pura-pura tersentak akan kedatangan mereka.

Eza tersenyum pahit. Dyon membalas dengan senyuman asam, karena melihat Eza yang begitu dingin.

“Dyon kangen sama Eza…” Dyon langsung merangkul tangan Eza.

“Eit, eit… malu… diliatin orang.” Eza menghindar.

Dyon hilang harapan lagi.

Jadi garing.

Dyon tak bisa mengungkapkan apa yang ingin ia ungkapkan, karena kesinisan Eza yang benar-benar berbeda, dari Eza yang Dyon kenal.

“Katanya Dyon mau ngomong sama Eza?” Tanya Rio.

“Ngg…” Dyon hanya bergumam tanpa makna.

“Mau ngomong apa? Cepetan. Habis ini gue dan Rio mau ke pesta ulang tahun temen… nggak enak kalo terlambat, apalagi kalo nggak datang.” Ungkap Eza seolah-olah jadi pengganggu acaranya. Sumpah, sikap Eza terlalu dingin. Angin dingin Kutub Utara seakan-akan menggelitik kulitnya… dan membekukan hatinya… sakit…

“Eza… boleh nggak… Dyon pingin duduk disebelah Eza sebentar… dan ngobrol sebentar.” Dyon minta izin. Kesannya formal. Benar-benar terasa asing.

Eza mengangguk tanpa sepatah kata pun.

Mereka bertiga duduk-duduk santai di eperan dekat tukang rokok dan minuman, sekalian nunggu bus.

“Eza… gue pengen bilang kalo sikap Eza makin berubah.”

“Ngg… nggak tuh biasa aja.”

“Apa usaha gue udah membuat kesempatan gue dan lo lebih besar??”

“Hmm… ya gitulah…” jawab Eza seadanya. “eh… hampir jam 4 nih. Acara ulang tahunnya Vina mulai jam 4 kan? Oh ya, Dyon… gue dan Rio cabut dulu ya. Soalnya beneran deh, mau ke ulang tahun temen…”

Hati Dyon tertusuk lagi, ini kan sama aja menghindar.

“Entar dulu dong Eza, Dyon mau ngomong sesuatu lagi.”

“Dari tadi mau ngomong sesuatu mulu… mana? Gue tungguin lo nggak ngomong-ngomong. Ngomong sih, tapi nggak makna.” Ucapan Eza sesejuk air danau di Kanada pas musim dingin. “ayo Rio. Kita cabut.”

“Eza…!” Rio seperti mau marahin Eza, tapi bingung musti ngomong darimana.

“Udahlah…!” Eza berjalan cepat, diikuti Rio. Dyon disamping Eza, tidak beranjak.

Di jembatan penyebrangan.

“Dyon anterin sampe ujung jembatan.”

“Ya udah, terserah Dyon.”

“Eza… Dyon mau nanya satu hal lagi.”

“Apa?”

“Eza masih sayang sama Dyon atau nggak?”

Eza terdiam sejenak, langkah kakinya terhenti.

“Gue harus jawab yang seperti apa?” Tanya Eza.

“Cukup jawab iya atau tidak.”

Eza diam lagi… lalu mulai menggerakkan bibirnya untuk berbicara. Senyumnya mengembang. Senyum tulus ini sudah lama tak hadir.

“Iya… iya Dyon.”

Dyon pun ikut mengumbangkan senyumnya.

“Yang bener? Coba ngomong yang lengkap? Kayak waktu itu… bilang, gue sayang sama lo, gitu.”

“Katanya jawab ya atau tidak aja?” Eza mulai jengkel.

“Dramatis dikit dong.” Dyon menggoyangkan lengan Eza.

“Nggak ah. Malu tau… sikap Dyon manja banget. Biasa aja, nanti dikira orang, lagi berantem!” Eza melepaskan tangan Dyon agak kasar. “udah ya. Da!!”

“Oh ya sudah… Bye!!!”

Eza nampak marah atas perilaku Dyon yang sedikit agresif. Eza tidak mengerti perasaan Dyon. Betapa Dyon merindukan Eza. Tapi Eza memang telah berubah. Firasat mulai terbesit… sepertinya hubungan seperti ini tidak akan bertahan lama.

Semakin lama Eza semakin menjauh… Dyon membalikkan badannya. Dyon tidak ingin melihat Eza semakin menjauh… nanti sesak. Karena suatu saat… cepat atau lambat, Dyon akan melihat Eza pergi. Hingga kehadirannya tak tampak lagi.

Sabtu, 18 November 2006

Pikiran Dyon sudah tak jernih lagi. Sikap idealisme, agresif, dan nekadnya mulai nampak lagi. Kebodohan yang seharusnya bisa ditampung, malah sengaja Dyon tumpahkan. Walaupun Dyon tahu dirinya akan menanggung rasa malu dan terluka. Hatinya yang kukuh menahan dirinya untuk tidak tinggal diam menunggu. Menunggu sampai luka hatinya terukir lagi? Lebih baik menghampiri luka itu. Daripada menunggu tak menentu… dan akhirnya sama-sama sakit.

Dyon berniat menghampiri Eza ke sekolahnya Eza, SMA Binadaya. Rencananya… mungkin Eza akan kaget karena kedatangan Dyon.

“Dyon… kenapa niat banget dateng kesini?” Tanya Imel, membantu Dyon mempertemukan dirinya dengan Eza.

“Iya. Gue ingin nanya ke Eza… mau Eza apa? Kenapa dia jadi berubah gini?”

“Apapun nanti kejadiannya. Gue mohon… jangan sampe lo nangis karena Eza ya. Karena Eza terlalu buruk buat lo tangisin. Sekali lagi gue kasih tau, Dyon. Lo itu cantik, lucu, baik, ramah, pinter… lo terlalu baik buat Eza. Eza tuh nggak ada bagus-bagusnya sama sekali.”

“Iya mel. Udah berkali-kali lo bilang kayak gitu. Tapi, perasaan gue nggak bisa gue tipu, gue sayang Eza apa adanya. Di mata gue, Eza itu ada sesuatu… sesuatu dibalik semua keburukannya. Gue tau itu… dan gue ingin tahu dia lebih banyak lagi.”

“Gue ngerti Dyon. Tapi lo harus mikir logis juga ya. Mikir pantas atau nggaknya. Pendek kata, Eza itu nggak pantas buat lo.”

“Hmm… lo pernah bilang itu. Kenyataannya, gue udah terlanjur sayang dia.”

“Satu hal… kalo lo sakit hati karna dia… jangan terlalu lama. Eza itu buang-buang waktu lo. Gue yakin, lo bakal dapetin cowok yang lebih baik dan lebih pintar dari Eza yang bego itu.”

Dyon hanya tersenyum kelu. Kelihatannya Imel kurang setuju dengan hubungan mereka. Apalagi niat Dyon menghampiri Eza ke sekolah.

Kringgg!!! Bel pulang SMA Binadaya berbunyi. Murid-murid SMA Binadaya yang masuk pagi, berhamburan keluar.

“Nah itu udah bel. Eza pasti ada di lapangan. Ayo gue anterin sampe lo ketemu Eza.” Ajak Imel. Dyon mengangguk.

Di lapangan rumput di depan SMA Binadaya, yang merupakan lapangan umum. Imel melihat Eza sedang duduk-duduk santai, lesehan, bersama teman-temannya. Dyon hanya celingak-celinguk mencari Eza, belum mendapatkannya.

“Itu Eza, yon!” ujar Imel.

“Mana?” mata Dyon kurang awas.

“Itu tuh, dia duduk di dekat pohon.”

“Mana sih??”

Dari kejauhan, kelihatannya Eza dapat memahami gerak-gerik Imel. Dan Eza melihat kedatangan Dyon walaupun dari jarak jauh.

“Eh?! Eh?! Dyon…! Eza mau kabur tuh? Cepet dikejar…” seru Imel spontan begitu melihat ancang-ancang Eza yang siap berlari.

“I… iya…!” Dyon spontan mengejar Eza. Eza benar-benar menghindar darinya.

Dyon berlari mengejar Eza. Kelihatan konyol. Kenapa Dyon harus mengalami kejadian menjengkelkan seperti ini. Dyon menahan air mata yang hampir jatuh dari pelupuk matanya.

Di sebuah tikungan, Eza langsung menghilang, karena larinya secepat kilat. Dyon tak dapat mengejar Eza.

Sebuah jalan yang sepi… di sebuah perumahan mewah yang kelihatan tak berpenghuni. Beberapa mobil yang diparkir di depan beberapa rumah mewah.

Dyon langsung berhenti begitu tahu, dia kehilangan jejak Eza. Sambil terengah-engah.

“Eza… Eza…!! Eza!!!” tangisan tak terbendung. Air mata mulai membasahi matanya. Pandangannya kabur.

Bruk!! Dyon jatuh tersimpu di aspal.

“Eza… kenapa lo jahat sama gue? Padahal gue hanya ingin ketemu sama lo… dan ngucapin beberapa kata…” air mata terus berjatuhan. Sendiri bersimpuh. Menanti kehilangan seseorang yang telah menemani hari-harinya walau singkat.

“Dyon…!” suara Eza. Eza keluar dari tempat persembunyiannya. Ternyata Eza bersembunyi di balik mobil Kijang yang diparkir di sekitar perumahan itu.

“Eza?” Dyon mulai bangkit.

“Sebelum lo ngucapin beberapa kata… gue ingin ngungkapkan beberapa kata juga… gue udah nggak sayang sama lo yon. Gue benci lo. Gue nggak suka sama sikap lo. Gue benci dengan cara lo ini. Sebaiknya kita udahin aja… kita putus…!”

Dyon tersenyum penuh kemunafikan.

“Kata-kata ini yang gue tunggu. Karena gue butuh kepastian… Bye-bye Eza!!” Dyon membalikkan badannya. Berjalan tegap berusaha tegar. Dyon dan Eza semakin berjauhan. Hingga tak akan pernah saling nampak, dan bertemu lagi.

Mata Dyon basah lagi… sembab… ingin ungkapkan kata ‘jangan putus’, tapi tak terungkap… sudahlah… memang seharusnya Eza pergi dari kehidupannya. Tapi Eza sudah mencoba merangkaikan benang ketulusan di hati Dyon. Walaupun Eza hanya pelangi sesaat yang menampakkan keindahan tak terungkap di dalam sanubari. Sanubari sesaat.

Tanggal 19 November 2006… Dyon patah hati (lagi!)

Tapakan langkahku terasa kaku

Mencari suatu yang tak pasti

Tertatih karna hati yang luka

Mawar yang merah

Membawa luka yang menusuk

Sanubari yang hampa

Datar tanpa gelombang

Menyisihkan sebutir harapan

Yang takkan terwujud

Karna badai yang lebat

Ingin kucabik-cabik

Dasar hati yang menggumpal

Membuat endapan yang mengeras

Terkikis oleh kasih yang hangat

Ada saatnya nanti…

Kulepaskan kenangan pelangi sesaat itu

Dan kusambut hangatnya mentari

Dear henohenomoheji…

Akhirnya Dyon putus dengan Eza. 3 bulan 2 minggu… Dyon berjalan bersama Eza… he is my rainbow… indahnya hanya sesaat jadi teringat lagu OVER THE RAINBOW,, tapi lagu itu nggak berhubungan dengan ini semua. Jadi ingin menyanyikan lagu WAKE ME UP WHEN SEPTEMBER END… karena hubungan Dyon dan Eza mulai tidak lancar sejak September… tapi bertahan lumayan juga… paling tidak, kenangan Dyon bersama Eza nggak akan pernah Dyon lupakan… Karena Eza adalah PACAR PERTAMA Dyon… jangan nangis Dyon… hiks hiks… ganbatte ne!!

Bye-bye ECHAN… My rainbow…!!! Fuh Rael gimana ya… kayaknya sudah nggak mungkin…(?)

_Dyon-chan_

Nb: smoga dapat pacar baru… ^^, +ntar patah hati lagi lho+ gapapah,, wee… :P

* * *

TWO SIDES WORLD *BAB SATU*

Story one: FIRST BOYFRIEND

~Pertama kalinya punya pacar beneran~

1. The Months full of Memories

Matahari siang itu terik sekali. Beberapa cowok yang terlihat serampangan berjalan bergerombol menuju kantin sewaktu jam istirahat. Mereka berjumlah delapan orang. Dua diantaranya nampak mencolok yang berada diantara teman-temannya yang memakai seragam SMA yang tak rapi; mengenakan kaos distro sebagai lapisan dalam, gelang simple tapi setumpuk, ada yang telinga bertindik, ada juga yang hidung bertindik, rambut cepak dan mowhak, sepatu convers dengan corak grafiti.

Tetapi mereka berdua berpakaian rapi, kaos tipis polos sebagai pengganti kaos dalam, rambut simple saja, tanpa tindikan, tanpa gelang setumpuk, sepatu convers biasa.

Justru mereka berdua yang lebih diperhatikan ketimbang enam orang lainnya. Pasti karena gaya mereka yang simple tapi enak dilihat. Dua sejoli, Rael dan Adam. Terutama Rael, yang dipandangi oleh beberapa cewek yang diam-diam mengaguminya dari kejauhan.

Rael adalah salah satu most wanted yang paling dikenal alias famous di SMA Petralika. Siapa sih yang nggak kenal Rael? Cowok jangkung yang terkenal karena tampangnya yang menipu itu. Kelihatannya sih alim, ternyata tukang nyari masalah… eh atau Rael ingin mencari perhatian dari orang-orang sekitarnya. Walaupun sering kena masalah, tapi tetep aja banyak yang naksir. Banyak cewek-cewek yang ngantri untuk menjadi pacarnya. Terlebih lagi sifat Rael yang gampang kasihan itu, jadi kalo ada yang nembak, ya diterima saja selagi dirinya masih jomblo.

Sejolinya, Adam, juga tak kalah terkenal. Soalnya tampangnya yang jutek tapi cakep itu bikin cewek yang melihat tajamnya tatapan matanya pasti langsung lemas. Terlebih lagi Adam, anak IPA, dan otaknya nggak sebego Rael. Eh… sori Rael, teman lo ini nggak ada maksud merendahkan.

“Heran deh… padahal lo kan bego, el. Tapi kok banyak yang naksir ya… hehe, bercanda kok…” ucap Adam hanya meledek iseng.

“Sialan lo.” Kata Rael. Tapi Rael tau, Adam hanya bercanda. Soalnya kalo diperhatiin, Rael nggak bego-bego amat di kelas IPS. Nilainya termasuk lumayan, dan masuk 10 besar.

“Rael, denger-denger bentar lagi lo mau ke Jepang ya buat tanding karate?” Tanya Wingky, gayanya paling stylish diantar yang lainnya. Memang sih keren abis, tapi berandalan.

“Iya. Tapi kalo gue menang karate nasional yang diadain minggu besok. Kalo gue menang baru dikirim buat pertandingan internasional.” Ucap Rael, dalam hatinya bangga.

Mereka berbincang dikantin sambil makan.

“Lo udah getol banget sama karate ya… sampe cewek lo nggak lo urusin.” Kata Rio, mahir dalam grafiti.

“Iya. Sama kayak lo yang doyan graffiti itu. Soal cewek gue, Lovi bisa ngertiin gue.”

Satu kata, kasihan, buat semua cewek yang menyukai Rael. Karena Rael sudah mempunyai pacar. Memang sih, Lovi yang menyatakan duluan, namanya juga the most wanted.

“Terang aja. Udah dari kelas 3 SD sih ngikut karate…” ujar Niko, yang berbadan kekar karena sering ke gym. Nggak kayak Rael yang kuriting, kurus kering tinggi.

“Makanya sampe mau go internasional.” Sahut temannya yang lain.

Rael tersenyum saja, di dalam hati… bangga banget. Kadang-kadang Rael memang naïf. Jaga image dong.

Drrttt… drrttt… HP Rael bergetar, ada SMS masuk.

“Eh ada SMS…” gumam Rael, lalu membaca SMS itu.

From: Dyon

He ibliz..yg py nm bgs ky malaikat..Raphael..tp hatiny munafik ky ibliz.. skrg sombong bgt lo..^^ pa kabar lo?

“SMS dari siapa, el?” Tanya Adam. “dari Lovi?”

“Biasa… nih baca deh…”

Adam membaca SMS itu.

“Wah… parah. Bales el. Kalo kayak gini makin menjadi-jadi. Gue aja sini yang bales.”

“Nggak usah, entar ni anak kegeeran dan makin menjadi. Mending diemin aja.”

“Heran.. sobatnya aja, Rica nggak kayak gini musuhan ma kita.”

“Au ni anak emang aneh.”

Dyon, seorang cewek aneh, salah satu penganggu kehidupan Rael. Dyon selalu saja mengirimkan SMS ke Rael dengan tujuan menganggu dan meledeknya dengan julukan ibliz. Padahal Rael bukan orang sadis ataupun orang jahat. Rael selalu berusaha sabar menghadapi Dyon, dengan tidak membalas SMS, pinginnya sih bales, tapi kalo dibales malah tambah ribut.

Tadinya… sempat Dyon menghilang, nggak pernah nelpon, miscall, ataupun SMS. Sekarang Dyon muncul kembali. Tetap menjadi penganggu dengan upatan yang bengis.

Drrttt… drrtt… ada SMS lagi. Tapi kali ini dari Lovi.

From: My Lovee

Hai syg. Lg ngapain? Aqu kgn bgt sm kmu.

Rael membalas SMS Lovi.

To: My Lovee

Ak lg mkn dkantin sm tmn2,, ak jg kgn sm km,,

SMS yang standar. Kangen-kangenan biasa dan gombal.

“Udahan yuk.”

“Ke WC aja Yuk. Gue mau ngerokok nih.” Kata Wingky. Yang lain juga berniat merokok di WC. Lain halnya dengan Rael dan Adam yang nggak merokok. Mereka berdua nggak doyan ngerokok, meski dulu sempet ditawarin sama teman yang lain, dan sempet nyoba dikit. Tapi nggak begitu ketagihan, biasa aja.

Lagipula kalau merokok, bisa menyebabkan gangguan pernapasan atau penyakit lainnya. Itu tidak diinginkan Rael sebagai atlet karate. Soalnya impian Rael adalah menjadi karateka handal dan go internasional.

Di WC cowok. Pintu dikunci rapat, biar nggak ketahuan lagi ngerokok.

“Lo nggak ngerokok, el?”

“Nggak. Makasih.”

“Nyesel lo.”

“Nggak.”

“Kalo lo dam?”

“Nggak.”

“Lo berdua kok kayak bencong?”

“Nggak juga. Mendingan dibilang kayak bencong, daripada cepet mati.” Ucap Adam, kata-katanya ada benarnya juga.

“Lo kemakan ucapan di artikel-artikel ya? Ngerokok belum tentu cepet mati.”

“Udah tentu lebih cepet kemungkinan kena kanker, ato penyakit lainnya. Kalo orang ngerokok itu paru-parunya bakal budukan tau nggak. Item dan ireng.” Adam memberitahu, itu juga bolehnya baca di Koran.

“Bodo amat. Yang penting nikmat. Ye kan!”

Mereka berdelapan ngobrol di WC.

“Eh udah mau bel. Bay-fresh nya mana?”

“Nih.”

Rio menyemprotkan bay-fresh ke seluruh sudut WC biar bau rokoknya cepat hilang. Mereka selalu menyediakan bay-fresh. Biar nggak ketahuan oleh guru. Bisa-bisa diskors kalau ketahuan.

Mereka berdelapan keluar dari WC itu.

* * *

“Halo! Kenapa yon?” suara Rica, yang sedang mengangkat HPnya. Rica berpapasan dengan Rael dan Adam.

“Eh, Ri. Rael masih idup ato udah mati sih?” Tanya Dyon, suaranya terdengar jelas oleh Rael.

Rael menatap Rica dengan sinis, begitu juga dengan Adam.

Rica terdiam sejenak, tatapan mata yang menusuk.

Segerombolan cowok-cowok sengak, itu menurut Rica, sudah lewat. Baru Rica angkat bicara lagi.

“Masih idup, yon. Barusan lewat…” Rica lemes.

“Hah…”

“Lo ngomong apa sama dia barusan yon? Gue sampe ditatap begitu.”

“Gue ngeSMS dia, ngatain dia ibliz…”

“Lagi yon? Ya ampun yon. Mending lo ga usah ngurus dia lagi deh. Entar gue yang kena. Kayak tadi. Uh sumpah… serem amat.”

“Sori ya, ri. Habisnya gue dongkol banget ma dia.”

“Lo dongkol ato suka sih?”

“Dua-duanya.”

“Dasar.”

“Eh nggak deng. Itu dulu, sekarang jadi benci… gue pengen bikin Rael sadar. Eh tapi masih ada sedikit rasa suka… dikit kok…” Dyon jadi plin-plan.

“Serius yon. Lo tuh bakal susah deh sama Rael. Dia tuh banyak penggemarnya.”

“Iya gue tau. Lagipula gue ada Eza…tapi ya gitu, hubungan gue ga baik.”

“Kalo udah ada Eza, ngapain ngedeketin Rael lagi?”

“Habis gue penasaran.”

“Udah ilangin aja perasaan itu, yon. Dia kan udah punya pacar. Lo kan juga udah punya pacar.”

“Ya gue tau.”

“Ya udah kalo tau. Eh udah dulu. Guru udah dateng nih. Bye-bye!”

“Bye!”

Rica menutup sambungan teleponnya. Dan buru-buru ke kelasnya. Duduk di kursinya.

“Fuh… Dyon-dyon… bikin repot aje…” Rica menghelakan napasnya. “mana tadi tuh anak natap gue gitu amat lagi. Si siluman juga sama aja.” Rica menoleh kearah Adam, yang sekelas dengannya. Julukan Adam oleh Rica dan Dyon adalah siluman. Pokoknya semua julukan sadis, Dyon deh yang mencetuskan.

Adam menatap Rica dingin. Buru-buru Rica memalingkan wajahnya.

“Mampus… tatapannya… heh… meleleh…”

“Kenapa Ric?” Tanya Adit, teman semejanya. Teman curhatnya juga.

“Heh… dit. Tadi Dyon nelpon gw, eh Rael lewat pas kebetulan Dyon nanya Rael. Eh Rael natep gue sinis. Adam juga. Barusan gue nengok ke belakang, dia natep gue jutek. Males banget.”

“Diemin aja, Ric.”

“Ya sih…”

Rica pun berusaha melupakan insiden sadis tadi.

“Anak-anak! Sekarang presentasi tugas kelompok Biologi. Nah, susun meja dan kursi buat kelompok yang maju pertama.”

Menyusun lima meja dan kursi untuk presentasi tugas Biologi.

“Gue yang pertama lagi.” Kata Geri dari belakang. Geri adalah gebetan rahasia Rica. Hanya Dyon yang tahu tentang itu. Geri tipikal cowok kelihatan smart dan pakai kacamata. Namun stylenya kurang. Coba kalo bergaya dikit, lepas kacamata, cakep banget. Pasti bakal famous kayak dua sejoli neraka itu, julukan sadis buatan Dyon lagi untuk Rael dan Adam.

“Lo berdua jangan banyak nanya ya.” Ujar Geri.

“Tenang aja. Udah gue siapin sepuluh pertanyaan.” Ucap Adit.

“Bego lo. Kelompok gue aja blom maju, lo bikin pertanyaan kayak gimana.”

“Itu tau… yang bego siapa coba.”

“Lo, dit.”

Rica tertawa kecil. Adit dan Geri cocok banget kalau disatuin. Sama-sama gokil. Sama-sama jayus… tapi lucu juga sih.

Kelompoknya Geri mempresentasikan. Dengan sukses, walau Adit mengajukan banyak pertanyaan. Itu malah nambah nilai bagi kelompok, bila bisa menjawab pertanyaan audience.

“Berikutnya kelompok 2.” Kata bu guru.

Ternyata kelompok 2 adalah kelompoknya Adam.

Uh males banget… muak ngeliat Adam. Batin Rica.

“Kita dari kelompok 2 pengen ngepresentasikan laporan penelitian kita…” Adam menjadi juru bicara.

Nggak usah diliatin, entar kegeeran. Batin Rica lagi. Segitu sebelnya sama Adam, yang dulu pernah ia sukai. Itu karena tingkah Adam yang belagu, Rica jadi ilfeel.

“Kelompok berikutnya!”

Cepet juga berlalu… akhirnya. Batin Rica. Tapi kali ini giliran kelompok Rica.

“Giliran kita, ric.” Ucap Adit. Adit dan Rica sekelompok.

Mempresentasikan tugas Biologi. Lancar tentunya. Nggak terasa dua jam pelajaran Biologi berlalu cepat. Guru sudah keluar dari kelas. Sedangkan kursi dan meja belum dibalikin ke tempat semula.

“Eh! Kursi mejanya tuh…!” seru Rica. Pingin ngebalikin, tapi aneh kalo Cuma sendirian.

Adam maju, karena mendengar perkataan Rica dan ngebalikin meja dan kursi itu.

“Eh bantuin dong!” seru Adam. Adit dan Geri ngebantuin Adam.

Rica langsung bengong. Tumben banget ini anak sadar dan peduli sama sekitarnya.

* * *

Malam itu, Dyon merasa bosan. Makanya dia menelepon Eza, pacarnya. Dyon sayang banget sama Eza. Tapi… Eza sudah mulai berubah. Tidak seperti Eza yang Dyon pernah kenal. Eza yang dikenal Dyon, begitu perhatian, nggak mudah marah. Sekarang, perhatian Eza drastis berkurang, gampang tersinggung, pokoknya beda banget.

Baru kali ini Dyon punya pacar. Makanya Dyon nampak begitu terobsesi dengan Eza. Semua khayalan tentang Eza ada di benaknya. Memang Eza bukanlah cowok yang sempurna dan stylish seperti cowok jaman sekarang. Eza nampak sederhana… malah kadang-kadang keliatan lecek. Caranya berpakaian, begitu simple. Kayak anak nggak keurus dan melarat, tapi aslinya yah… gitulah. Ternyata jangan melihat orang dari luarnya aja.

Tampang Dyon memang kayak anak orang kaya, tapi aslinya… nggak kaya, malah kadang-kadang suka matre. Tetapi soal cinta, Dyon nggak bakal jadi matre deh.

Buktinya selama Dyon berpacaran dengan Eza, Dyon terus yang mentraktir Eza. Dimulai dari ongkos kendaraan umum sampai makan. Dyon nggak ingin dibilang perhitungan. Tapi selama ini, ia mendengar dari teman-temannya yang punya pacar. Cerita yang indah, pacar teman-temannya kelihatan berkorban baik material maupun perasaan. Nggak seperti Dyon… yang kebalikan. Dyon yang akhir-akhir ini lebih perhatian. Semua material juga.

“Halo Eza… ini Dyon.”

“Iya, kenapa?”

“Eza lagi ngapain?”

“Belajar…”

“Hah Eza belajar? Tumben? Belajar apa?”

“Mandarin. Besok ulangan.”

“Oh… bagus deh. Eza udah makan belum?”

“Belum.”

“Makan dulu gih sana, entar lo sakit lagi. Sekarang lagi musim penyakit nih. Hati-hati, jaga kekebalan tubuh dengan baik supaya nggak gampang kena penyakit.”

“Iya, iya…” Eza tertawa kecil. Tapi Dyon tau… Eza tertawa nggak dari hati.

“Ya udah deh. Lo belajar dulu deh, jangan lupa makan ya.”

“Iya.”

“Bye!”

Dyon menutup gagang teleponnya. Selama ini, Dyon pacaran sembunyi-sembunyi dari orangtuanya. Meski waktu itu sempat ketahuan. Tapi kayaknya hubungan ini nggak akan lama lagi.

Menyakitkan… Dyon benar-benar nggak mengerti dengan perubahan Eza ini. Dyon sangat menyayangi Eza. Dyon sudah merelakan untuk melupakan Rael, yang dulu sangat disukainya, karena Eza nggak senang kalau dia mencintai orang selain Eza. Kenyataannya… malah makin pahit, Dyon udah melakukan apa yang dipinta Eza.

Mencintai Eza satu… nggak terbagi-bagi. Eza malah membalas dengan sikapnya yang berubah.

Dyon sadar, banyak masalah yang akan dihadapi saat ia berpacaran dengan Eza.

Yang pertama, nggak disetujui orang tua dari kedua belah pihak. Kedua, unsur jarak, sulit bertemu. Ketiga, ada teman Dyon yang nggak suka hubungannya dengan Eza (mungkin karena perbedaan).

HP Dyon berdering polyphonic Ragnarok Theme. Ada SMS masuk.

From: Michel

Mlm syg,kmu lg ngapain? Ak kgn bgt n syg sm kmu,yon.

SMS gombal lagi, dari Michel. Teman dekatnya, sekaligus teman curhat soal Eza, tentu saja yang saat ini lagi konflik. Dyon yakin Michel hanya bercanda, buat lucu-lucuan aja. Dyon kenal Michel dari cowok yang rumahnya di dekat sekolah Dyon, yang pernah naksir dan nembak Dyon, tapi ditolak sama Dyon. Eh malah Michel yang jadi lumayan dekat sama Dyon.

To: Michel

Aq jg kgn n syg sm kmu.Eh,Dyon mo crita ttg Eza lg nih.Td Dyon nlp Eza,sikapny bnr2 brubah ma Dyon.Kmu tw ga knp Eza jd brubah bgtu?

Dyon SMS-an sama Michel.

From: Michel

Itu artny,Eza ud ga syg sm Dyon lg.Ak kan ud blg brkli2,tp Dyon ga pnh mw dgr.Hub klian ud ga langgeng.sr y ngmg bgni,tp itu knytaan,Dyon hrs trma itu smua,

To: Michel

Kmu jht.Pdhl Dyon kn msi syg bgt sm Eza.Dyon sll mikirin Eza.Hrsny kmu nghibur Dyon byar ga pth smngt!

From: Michel

Klo gt,ak mnt sori.Ak ga bmksd.Tp trs trg,Dyon pikIr d,kmu sll mikirin Eza,tp ap Eza mikirin kmu.Hm,up 2 u,tsrh dyon,,ak cm ngsi tw.Hm,satu hal yg psti,buat yg tbaik utk kita.Ok?!

To: Michel

Mksi bwt pringtnny.Ak akn ikuti kt ht,ak akn byarkan smua ngalir.Dan ak akn bwt yg trbae utk kta.^^as a bezfriend,,oi,ud dlu y.Dyon mo bljr,pulz jg da skrt.

Dyon menghentikan SMS-annya dengan Michel. Pulsanya bener-bener udah sekarat. Tinggal sekali SMS ke sesama pengguna sim-card, tinggal nol rupiah deh.

Kata-kata Michel ada benarnya juga. Bener-bener menyayat hati Dyon. Padahal selama 16 tahun dia hidup di dunia, baru kali ini merasakan cinta terbalaskan. Biasanya cinta bertepuk sebelah tangan, kalo nggak Dyon yang cinta sepihak, ya ada orang yang suka Dyon tapi Dyon nggak suka. Dan… pasti hubungan Dyon dan Eza bakalan berakhir dengan nggak bahagia. Indah saat awalnya aja.

Tentang Rael… sebenarnya ada asal mula kenapa Dyon ngejulukin dia ibliz. Itu karena Rael memang jahat. Rael itu orangnya super munafik… yah… bukan berarti Dyon bukan orang munafik (sedikit), tapi masih munafikan Rael.

Dyon ingat asal mula kenapa ia bisa kenalan sama Rael. Dari sini kita akan kembali ke enam bulan yang lalu. Sewaktu Dyon belum bertemu Eza. Bulan-bulan yang penuh kenangan manis dan pahit… tidak pernah terlupakan dari ingatan Dyon.

-----------------------------<>--------------------------

Awal Bulan Mei…

“Dyon! Tadi gue pulang bareng sama Rael, yon. Ternyata dia perhatian juga. Itu kebetulan doang sih, sebenernya sih… sikapnya berubah.” Rica menelepon Dyon sore itu.

“Hmm, lo ngomongin Rael mulu. Jangan-jangan lo suka beneran sama Rael.”

“Ya nggaklah. Rael hanya gue anggap teman akrab. Lagipula Rael banyak penggemarnya.”

“Terus? Gimana lagi ceritanya?” Dyon ingin dengar lebih lanjut. Karena Dyon merasa, Rael itu terdengar interesting.

“Lo tau kan, di SMA Petralika ada teman tongkrongan anak-anak berandalan. Nah, Rael tuh kayak ngelindungin gue supaya gue nggak diganggu. Ya pokoknya gitu deh.”

“Bagus dong.”

“Satu hal yon. Rael itu keliatan type lo banget.”

“Iya. Lo udah berapa kali ngucapin hal itu. Rael emang type cowok yang gue suka. Cowok bandel, lucu, menarik, periang. Tapi, gue nggak bakalan ngerebut dari lo, ri.”

“Ngerebut gimana? Gue kan nggak suka (cinta) sama Rael. Lo tau kan type gue tuh kayak Adam, yang berkacamata, cool, keren… tapi kayaknya selera gue ketinggian deh, makanya susah didapetinnya.”

“Lo pikir selera gue juga nggak ketinggian? Lo liat dong Kak Andrie, dia tuh keliatan perfect, eh malah gue nggak bisa ngegapai.”

“Kapan ya kita jomblo terus?”

“Hanya Yang DiAtas yang tahu.”

“Hiks… saking kelamannya kita ngejomblo. Kadang-kadang gue ngerasa iri lho sama orang-orang yang punya pacar.”

“Gue juga iri tau. Tapi nggak apa deh, asalkan masih bisa ngegebet.”

“Sekarang lo ngegebet siapa, yon?”

“Nggak ada. Kak Andrie kan udah hopeless.

“Rael aja.”

“Hmm… gimana ya?”

“Emang sih dia banyak yang naksir, tapi kan nggak ada salahnya nyoba kenalan. Mungkin aja klop.”

“Ya udah deh… daripada gue bt… bingung… nggak ada yang dipikirin, malah jadi ngeres otak gue, ngegambar yang nggak-nggak.” Selama ini, Dyon yang hobi menggambar itu, jadi gambar ala komik hentai (komik 17 tahun keatas).

“Nih nomornya… 0856826xxxx.”

“Tunggu bentar, tunggu…” Dyon mencatat di tembok dekat telepon pakai pensil. “berapa? 0856826xxxx, Rael, hm-hm, oke… gue akan kenalan…”

“Tapi satu hal, jangan ungkit nama gue ya.”

“Yah terus gimana? Masa gue mau boong yang nggak masuk akal.”

“Hmm ya udah terserah lo. Yang penting jangan terlalu banyak ngungkit gue.”

“Nggak akan banyak kok. Gampang. Udah dulu ya. Bye.”

“Bye!”

Habis itu, Dyon langsung SMS Rael. Kenalan. Tentu aja, Rael membalas dengan senang hati. Pertama-tama, Rael menawarkan ketemuan, Dyon belum yakin. Lalu setelah beberapa lama berSMS-an, HP Dyon penuh dengan arsip SMS dari Rael, mereka berjanji untuk ketemuan di MCD deket rumah Dyon sekalian makan siang.

Dyon nggak habis pikir, Rael mikir apa sampe ngelupain janjiannya, dan membuat Dyon nunggu selama dua jam pas. Alasannya lupa?? Padahal Dyon udah mempersiapkan hadiah untuk Rael yang berulang tahun minggu lalu, di pertengahan bulan Mei. Hadiahnya bantal berbentuk bola world cup germany, soalnya Rael doyan bola dan world cup lagi gres-gresnya di bulan Mei. Dyon pun memberikan bantal bola itu ke Andri, yang Dyon sudah anggap seperti kakak sendiri, tapi nggak tau Andri-nya.

Sejak saat itu… Dyon benci banget sama Rael… Dan mulai menjulukinya ibliz neraka nggak punya muka dan nggak tau diri.

Mereka berdua… mulai miss communication

Bulan Juli yang terik dan panas…

Di bulan inilah, pertemuan Dyon dan Eza. Bulan yang sangat terik dan pas disepanjang tahun itu. Mereka berdua part-time di sebuah toko buku ternama di Indonesia. Kedekatan mereka ternyata menumbuhkan perasaan suka pada hati keduanya. Memang, kedekatan yang ditimbulkan karena keseringan meledek satu sama lain.

Tahu sendiri, Dyon yang agak tomboy itu memang nggak pantas dandan, suatu saat Dyon terpaksa makai lipstick karna ditegur oleh atasan. Tentu saja ini kesempatan Eza untuk mengejek Dyon yang emang nggak pantas berubah menjadi perempuan. Cocokan biasa aja.

Dyon dan Eza saling curhat.

Tentu aja, Dyon bercerita tentang Rael.

“Iya tuh… Rael kan kayak ibliz bermuka dua… luarnya sih baek, tapi dalemnya nggak lain dan nggak bukan ya ibliz…”

“Jangan gitu, entar naksir lho.”

“Mang udah suka kok.” Dyon naïf.

“Dasar lo… eh Dyon, bagi seceng dong buat beli rokok sebatang…”

“Huh, tukang palak. Ya udah… nih…” Dyon ngasih seceng, serelanya lah.

Dyon semakin mengenal Eza. Eza itu cowok selengean yang punya banyak teman. Hobinya gila-gilaan alias tukang nyela dan bercanda. Pecandu rokok, paling doyan rokok yang dibeliin alias gratisan.

Pertengah bulan Juli, Dyon merasa kangen lagi sama Rael. SMS-an lagi deh sama Rael. Nggak tau kenapa, Dyon keceplosan bilang kalo Dyon suka sama Rael… meski tadinya Dyon ngatain Rael ibliz secara blak-blakan. Eh pas Dyon ngatain Rael ibliz… Rael malah bales dengan sabar.

From: Rael ibliz

Ktain gw aj smpe lo puas,gw ga mrh kok.Mksi byk bwt prhtian yg dlu utk gw.Gw mnt maaf klo dlu gw nyakitin lo..

Kata-kata kayak gini nih bikin cewek luluh, emang buaya darat.

Dyon telak mati kata. Ngebales.

To: Rael ibliz

Slh2… sbnrny gw sk sm lo ra.Gw jg ga ngrti,tp gw lum ktmu lo gw da sk.Dr ptm gw sk sjk Rica nyritain lo… Sr ra,tp itu bnr..gw ga tw hrs gmn lg,

From: Rael ibliz

Ya udah..skg gmn byar rs benci lo sm gw ilang?

To: Rael ibliz

Ktmuan!

Harga diri Dyon jatuh lagi. Dyon bakal nyamperin Rael ke sekolahnya SMA Petralika saat SMA Petralika mengadakan acara kreativitas seni di hari liburan. Dyon memang cewek yang cuek… nggak peduli orang bakal ngecap dia sebagai cewek yang nggak punya harga diri. Soalnya Dyon idealisme… Dyon berpikir semua orang diciptain Tuhan sama… jadi nggak ada salahnya kalo bertindak kebalikan. Misalnya: cewek nembak cowok…? So what…? Cewek kan berhak menyatakan perasaan. Nggak hanya cowok. Daripada dipendam terus… mending jujur. Jujur lebih baik daripada menutup-nutupi.

“Ha!! Mana sih tu ibliz nggak ngeSMS-SMS gue… Lama banget…” Dyon ngedumel sendiri di kamarnya.

“Dyon…! Makan dulu!” ujar ayahnya.

“Iya…” Dyon pun nggak bisa menunda apa yang disuruh ayahnya.

Dyon makan malam tapi diundur di jam maghrib. Sambil ngeliatin HP.

Tlilililit… ada SMS masuk. Cepet-cepet Dyon membuka SMS itu.

From: Rael Ibliz

Sori bRu bls,yon. Bsk kYknya gw bS sih. DiskuL gW ya. Lo MaunYa jam brp? Ksi tw gw.

Dyon membalas SMS nya.

To: Rael Ibliz

Bsk jam 4 sore ya ra! Tungguin gw ya. Inget, jgn lupa LG Ya..!

From: Rael Ibliz

Ya. Jam 4. ok! Gw TUNGGU…

Selesai berSMS singkat dengan Rael, Dyon jadi begitu lega. Besok mereka akan ketemuan, tanpa sepengetahuan Rica jam 4 sore. Jadi Dyon harus pulang part-time lebih cepat sedikit, biar tepat waktu. Akhirnya Dyon dapat bertemu muka dengan Rael. Tapi Dyon nggak boleh terlalu berharap, bisa-bisa entar batal lagi.

------------------

“Yee… Eza. Lo tau nggak…” ujar Dyon seneng.

“Gue nggak mau tau tuh…” Eza meledeknya.

“Aah… Eza…! Yang bener dong, gue mau cerita nih.” Dyon ngambek.

“Iya, iya… kenapa?”

“Nanti gue mau ketemu dong sama Rael.”

“Oh Rael!!!”

“Sssttt… jangan keras-keras. Malu gue kalo tiba-tiba temennya Rael dateng ke toko buku ini. Rael kan terkenal.”

“Yah elah, mang yang namanya Rael cuma Rael lo doang.”

“Hmm… senangnya. Soalnya gue udah lama suka tapi belum pernah ketemu.”

“Lah? Gimana tuh?”

“Gue cuma SMSan doang selama ini.”

“Anak aneh.”

“Kalo Eza? Eza kok nggak pernah cerita tentang kisah cinta lo.”

“Heh, gimana ya? Ada sih… namanya Nana, dia tetangga gue. Suara mirip lo gitu.”

“Mirip gue? Emang iya?”

“Iya. Apalagi kalo lo ngomong… kayak gini nih… marah, ngambek… nangis…” sambil menirukan gaya Dyon berbicara buat menghibur kalo Eza marah.

“Kenapa nggak jadian sama dia aja?”

“Udah punya cowok.”

“Yah berarti lo telat dong…”

“Bisa dibilang begitu sih. Ah lupainlah. Yang penting nanti lo mau ketemu ma Rael kan. Semoga sesuai harapan lo.”

“Ya moga-moga. Gue belum ketemu orangnya aja udah suka banget. Gimana kalo ngeliat orangnya…? Pasti tambah deh rasa sukanya.”

“Nggak taunya, mukanya kayak kodok burik nih. Ilang rasa deh lo.”

“Ya nggak mungkinlah. Rael itu terkenal karena banyak cewek yang suka dia. Makan apa tuh anak, kalo ternyata dia emang kayak kodok burik, sampe-sampe melet banyak cewek biar naksir dia.”

“Ah iya juga ya.”

“Eza bloon nih.” Dyon mengeplak kepala Eza.

Eza membalas, “Dasar Dono.” Eza memplesetkan nama Dyon.

“Jelek lo, nyet.”

Supervisor mereka tiba-tiba datang. Mereka jadi pura-pura membereskan buku.

“Lo sih.” Dyon menyalahkan Eza.

---------------

Sore hari, Dyon naik ojek nyamperin Rael sepulang dari kerja part-time.

To: Rael ibliz

Ra, bntr lg Dyon kskul lo. Gw pake baju seragam tanpa bet,rok abu-abu…

From: Rael ibliz

Ya entar klo udh nymp,,sms gw aj,,

Sesampainya di depan pintu gerbang SMA Petralika. Banyak anak-anak SMA Petralika yang melihat Dyon dengan wajah aneh. Mungkin karena rok abu-abu yang modelnya beda dengan rok abu-abu sekolah negeri. Dan nggak pakai bet.

Anak-anak SMA Petralika sedang menyelenggarakan lomba seni antar kelas. Makanya jamnya agak bebas.

Dyon menunggu di depan gerbang, duduk di dekat tukang jualan batagor.

To: Rael ibliz

Gw ud nyampe nih… di dpn skolah lo,gw duduk di dkt tukang batagor..cptn ya..

Dyon nunggu… SMS kayaknya ga akan dibales Rael.

Selama nungguin, Dyon ngeSMS Rica.

To: Rica

Ri…gw ud mo ktmuan ma Rael… orgny ky gmn sih? Ciri2 detail…

From: Rica

Udahan. Bgs deh. Dia tinggi,rmbtny biasa,agak putih,ad jerawat sedikit di pipinya.

Lima menit kemudian, ada seorang cowok yang keluar dari pintu gerbang SMA Petralika, perawakannya tinggi, rambutnya standar, gayanya simpel, jerawat sedikit tumbuh di pipinya… persis yang dicirikan oleh Rica. Cowok itu kelihatan bersinar… mungkin karena terik matahari.

Cowok itu langsung menghampiri Dyon yang duduk di dekat tukang batagor. Kayaknya dia memang Rael.

“Lo Rael ya?”

“Ya. Udah lama nunggunya?” Rael tersenyum. Begitu manis.

“Nggak kok.”

Mereka berjabat tangan. Rael duduk di sebelah Dyon. Dyon sok-sok’an jaga jarak duduk. Padahal maunya deket-deket.

“Lo sendirian?” Tanya Rael. Rael memakai sandal hotel. Keliatannya nyantai banget.

“Iya. Nggak mungkin lah Rica mau nemenin.”

“Rica hari ini nggak masuk.”

“Iya. Dia bolos, males katanya.”

“Hari ini gue ada lomba seni, makanya bebas.”

“Lo ikut juga?”

“Iya. Gue ikut gitar akustik.”

“Lo bisa main gitar?”

“Bisa. Tapi nggak terlalu.”

“Gitar akustiknya mulai jam berapa?”

“Bentar lagi.”

Dyon memandang Rael dari atas ke bawah. Rael memang menarik. Kalau dilihat-lihat lebih teliti lagi, Rael lumayan cakep meski ada sedikit jerawat. Tinggi banget. Kurus. Tapi enak dilihat dari sudut manapun. Rael mengambangkan senyuman terus. Bikin Dyon melayang.

“Eh, lo sekilas mirip kakak bertepuk sebelah tangan gue… kakak-kakak’an sih. Namanya Andros. Dia juga tiang listrik kayak lo.”

Rael tertawa kecil, “Apaan tuh kakak bertepuk sebelah tangan?”

“Iya… jadi gue suka, tapi Cuma sepihak. Bener mirip lo deh!”

“Masa? Dia kali yang ikut-ikutan mirip gue.”

“Adanya lo yang niru dia. Kan lahirnya duluan kakak bertepuk sebelah tangan gue.”

HP Rael berdering. Ada yang menelepon. Rael mengangkat.

“Rael. Siap-siap, bentar lagi giliran lo.” Suara cukup jelas terdengar.

“Iya, iya. Entar dulu, gue lagi sama temen gue nih.” Ucap Rael nyantai. Lalu memutuskan sambungan HPnya.

“Gitar akustiknya udah mulai?”

“Hampir. Tuh tadi barusan gue udah dipanggil.”

“Oh,” karena baru pertama kali bertemu, mungkin kesannya sedikit garing. Tapi nggak terlalu buruk untuk pertemuan pertama. “eh, tau nggak. Gue udah dua kali ke Petralika. Yang pertama, waktu lo ngajak Rica ke natalan anak sekolah lain. Habis itu nggak jadi.”

“Oh yang itu..” Rael teringat.

“Si Rica tuh sebel banget sama lo, waktu itu.”

“Habis gue jadi panitia sih. Jadi harus duluan. Tapi gue udah minta maaf.”

“Eh… liat deh. Name lo di phone book HP gue, gue tulis… ibliz…” Dyon maksudnya bercanda. Sambil menunjukan.

Rael hanya tersenyum asam. Dalam hati: Brengsek!

HP Rael berdering lagi.

“Halo?” sapa Rael.

“Rael lo lama banget sih. Udah mau mulai nih?”

“Iya entar dulu. Ntar lagi…” Rael menjawab santai. Menutup sambungan HPnya.

Bawel banget sih temennya. Batin Dyon kesel. Nggak tau lagi seneng ya…

“Eh, gue udah dipanggil buat akustik.”

“Cepet amat. Ya udah deh.”

Rael udah mau berdiri.

“Eh, entar dulu.”

Nggak jadi berdiri.

“Lo pulangnya naik bus kan? Kalo gitu bareng aja deh. Gue tungguin, soalnya gue lupa jalan sampe keluar buat nunggu bus.”

“Gue bareng temen gue naik motor.”

“Kalo gitu boncengin gue.”

“Gue aja diboncengin.”

“Kalo gitu bonceng bertiga?”

Rael tertawa kecil. Anak yang aneh.

“Mana bisa? Gue lewat jalan ini. Bukan jalan lo sampe lo nunggu bus.”

“Oh iya juga ya. Yah…” Dyon kecewa. “ya udah. Eh, jalan balik sampe nunggu bus mana ya? Soalnya tadi gue kesini naik ojek.”

“Lurus aja. Ikutin jalan ini.”

“Oh. Ya udah deh.”

“Ya.”

“Bye!”

“Bye!” saling melambaikan tangan.

“Eh?!”

“Kenapa?”

“Kapan-kapan ketemuan lagi ya?”

“Iya.” Rael tersenyum. Dyon makin meleleh. Dyon langsung ngeSMS Rica.

To: Rica

Udah ketemu Ri. Akhirnya. Manis bgt klo diliat-liat. Duh…

From: Rica

Gmn ksn pertama?

To: Rica

Ga garing2 amat,ya lo tau gw kan.Tp mslhny dia ad akustik jd buru2.

From: Rica

Bgus deh. Jgn blg lo tambah suka..!

To: Rica

Iya ri. Tambah.

Habis ketemuan, Dyon masih bisa SMSan sama Rael. Itu berarti Rael nggak ilfeel sama Dyon. Tapi minggu berikutnya, nggak tau kenapa Rael jadi menjauh. Jadi nggak bales SMS lagi. Pasti bukan karena nggak ada pulsa.

“Dyon. Gue nggak tau yon. Ada berita tentang Rael.” Rica menelepon sore itu.

Dyon mulai merasakan sesuatu yang nggak enak.

“Gue tau, Ri. Gue tau lo pengen ngomong apa.” Dyon udah bisa nebak.

“Apa??”

“Rael udah punya cewek kan?”

“Kok tau.”

Feeling gue kan kuat. Nggak kayak lo, yang selalu kebalikan.”

“Tapi gue juga nggak tau kebenarannya. Soalnya lo tau sendiri, kuping gue ini kadang-kadang suka salah denger.”

“Ya. Gue udah siap kok kenyataan Rael udah punya pacar.” Dyon berusaha tabah.

“Jangan sedih.”

“Nggak gue nggak sedih. Cuma jadi bad mood. Kayaknya gue hampir hopeless. Patah hati lagi…”

“Gue juga sama kayak lo kan. Kita kan emang satu nasib.”

“Nyantai aja.”

Bulan Juli hampir berakhir, Dyon berusaha tegar. Dyon nggak bisa menangis. Soalnya Eza selalu bikin dirinya ketawa dan gila-gilaan. Rael pun mulai terlupakan sedikit demi sedikit, walaupun nama Rael masih terngiang di hati Dyon. Dyon ganti nomor HP, soalnya sim cardnya hilang. Kayaknya memang udah jalannya, karena semua SMS di simcardnya yang hilang itu, dari Rael semua.

Sampai berjumpa lagi, Rael, cinta yang belum ada akhir ceritanya…

Akhir bulan Juli....

Masa Dyon bekerja disitu sudah habis. Perasaan kehilangan oleh Dyon… dan juga Eza nampak pada raut wajah mereka berdua.

“Eza. Dyon mau pamitan…” Dyon mengulurkan tangannya.

“Kok pulangnya cepet amat.” Wajah Eza nampak kecewa.

“Iya.” Tangan Dyon masih mengulur.

Eza menyambut tangan Dyon dengan ragu dan kecewa.

“Eza nggak ngasih hadiah buat gue? Hadiah perpisahan?”

“Bukan perpisahan. Kayak mau mati aja.”

“Berpisah bukan berarti mati. Ya… kalo tiba-tiba nanti pas pulang gue ketabrak.” Dyon ngomong ngelantur.

“Hus!” Eza marah sama omongan Dyon.

“Nggak kok bercanda.” Dyon tertawa kecil. “hadiahnya mana?”

“Nanti ya. Tungguin gue di kamar mandi bawah.” Eza mulai gokil. Bercanda.

“Maksud lo kiss, za?” Tanya Imel, temen satu sekolah yang part-time juga.

Dyon tertawa kecil. Dalam hati deg-degan.

“Ya udah deh. Bye-bye…” Dyon pergi menjauh dari Eza. Eza jadi ngerasa bosen. Nggak ada yang diajak bercanda dan diisengin lagi deh.

Awal bulan Agustus…

Dyon menelepon Eza. Ternyata mereka berdua saling kangen. Telpon-telponan deh. Hingga Dyon nggak tahan lagi.

“Eza… kayaknya gue suka deh sama lo…” ucapnya sambil deg-degan dalam hati.

“Sama. Gue juga.”

Kontan Dyon kaget. “Hah? Maksud lo apa?”

“Sama. Gue sama kayak yang lo rasain.”

“Masa sih?”

“Iya. Bener.”

“Sejak kapan, za?”

“Sejak gue bercanda sama lo. Makanya gue sebel saat lo digosipin sama temen gue itu.”

Dyon jadi inget, Dyon memang sempet digosipin cinlok sama Rio, temen satu sekolahnya Eza yang part-time juga. Tapi abis itu, Dyon ogah dan ngejauh sendiri dari Rio. Eh malah gantian Eza yang jadi deket sama Dyon, lebih klop dan nyambung aja ngobrolnya.

“Kalo gue sejak jauh dari lo, ngerasa kehilangan gue.”

“Gue juga sedih…”

Selama seminggu mereka tetep telpon-telponan. Dyon merasa hubungan mereka agak aneh. Dan Dyon menanyakan kepada Eza.

“Eh, Eza. Gimana? Tentang hubungan kita?”

“Mau ‘jalan’?”

“Hah? Ngg… ya udah…”

“Ya udah…”

“Ya udah…”

“Ahahaha!!! Garing lo…” mereka berdua saling ketawa ditelepon. Memang jadian di telepon, habis gimana lagi. Jarak mereka jauh. Keburu kesamber orang, salah satu dari mereka.

Resmi jadian deh…

Dyon tahu… di hatinya masih ada sedikit nama Rael. Tapi itu akan hilang seiring dirinya berjalan bersama Eza. Eza datang disaat Dyon membutuhkan sandaran hati.

Minggu kedua bulan Agustus… musim panas…

Kencan pertama Dyon dengan Eza. Dengan duit seadanya. Nggak ada tujuan mau kemana. Untungnya duit hasil kerja part-time, masih Dyon sisakan.

“Udah kebales deh, rasa kangennya.” Ucap Eza. Dyon tersenyum malu-malu. Dyon agak deg-degan.

“Mau kemana za?”

“Ke Blok M Plaza aja.” Eza memutuskan.

Mungkin ini kencan standar. Tapi baru pertama kali, Dyon digandeng seseorang dengan hangat sewaktu berjalan-jalan. Iyalah, digandeng. Kan Dyon dan Eza udah berpacaran.

“Dyon, nggak papah kan kalo ngomongnya pake gue lo, bukan aku kamu.”

“Nggak apalah. Kalo aku kamu terkesan maksa.”

“Iya, betul tu. Enakan gue lo, atau manggil nama.”

Naik bus umum, Dyon dan Eza duduk di paling belakang. Mencolok banget. Apalagi sambil pegangan tangan, nggak dilepasin lagi.

Keliatannya Eza bawa duit pas-pasan. Dyon ngebayar ongkos untuk berdua dengan nggak terpaksa.

“Dyon. Beliin gue topi ya.”

“Ya udah. Tapi jangan yang mahal-mahal. Gue bawa duit cuma seratus lima puluh ribu… sekitar segitu lah.”

Mereka mampir sebentar di Blok M Mall. Setelah nyari-nyari, akhirnya beli topi harga standar eceran. Nggak apalah. Namanya juga kencan minimalis.

“Eh Dyon… kok muka lo pucet amat.”

“Iya nih. Gue emang nggak tahan di tempat yang serame ini.” Dyon jadi lemes. Soalnya nggak terbiasa jalan-jalan. Apalagi sedang musim panas.

“Awas lho kalo Dyon pingsan. Entar gue tinggal, pura-pura nggak kenal.”

“Kok gitu sih… ya, ya. Gue nggak akan pingsan kok.”

“Ya udah. Kalo gitu kita makan siang aja ya.”

Perjalanan menuju Blok M Plaza. Kadang-kadang, Eza pengertian juga. Eza nggak tahan pengen ngerokok, memang sih tetap ngerokok, tapi agak menjauh dari Dyon soalnya Dyon nggak tahan asap rokok yang bikin dirinya sesak, lalu buru-buru ngerokoknya. Belum habis puntungnya, udah dibuang.

“Eh ada tukang DVD…!” seru Dyon menyentak begitu semangat. Eza mengikuti langkahan kaki Dyon.

“Bang. Ada Naruto terbaru ga?” Tanya Dyon semangat.

Ada neng. Volume 170 sampai 190.”

“Boleh dong. Eh, eh… ada final fantasy advent children! Yang ini juga deh bang.”

“Iya neng.”

“Heh Dyon. Jangan kebanyakan nonton kartun. Kayak anak kecil aja lo.”

“Hehe, mumpung ada duit nih. Eh bang, ada silent hill ga?”

Ada neng.”

“Kalo Hunter X Hunter?”

Ada nih neng.”

“Kalo Final…”

“Udah cukup… udah bang. Naruto aja dibungkusinnya.” Eza menghentikan tingkah Dyon yang boros itu.

“Yah… ya udah deh…”

Dyon pun membayar untuk 3 DVD Naruto yang dibelinya.

“Sayang duit, yon. Nyari duit kan susah.” Eza menasehati Dyon.

“Lo juga kan. Beli rokok. Ngerokok kan ngerusak kesehatan. Ngerusak kantong juga!”

“Bodo.” Eza cuek.

“Uh sama aja.”

Makan siang di KFC.

“Tau nggak yon. Dulu waktu gue kelas 1 SMA. Gue diajakin kesini sama om-om kayak homo gitu. Dibeliin macem-macem, makan… maen di Timezone.”

“Hih… jangan-jangan om-om itu suka sama lo lagi?”

“Kayaknya sih gitu. Gue udah jaga jarak dah… untungnya abis itu nggak pernah ketemu lagi. Amit-amit gue… gue kan masih normal.”

Eza meneguk coca-cola. Makanannya sudah habis. Sementara Dyon masih mengunyah.

“Liat HP lo, yon.”

Ada di tas.”

Eza mengotak-atik HP Dyon yang tanpa kamera itu.

“Eh… delivered nih… Rael ibliz…? Hah? Rael?” kata Eza.

“Iya. Biarin aja. Paling-paling nanti nggak dibales.”

Kadang-kadang Dyon masih berharap dengan Rael. Padahal udah pasti nggak dibales. Lagipula Dyon kan baru jadian sama Eza.

“Akhirnya abis juga… duh perut gue begah, kenyang.” Dyon menghabiskan makanannya.

Mereka berdua saling terdiam… saling bertatapan sebentar. Dyon salting mulu daritadi.

“Dyon. Gue pengen ngasih tau lo sesuatu.”

“Apa??”

“Dulu gue pernah makai ganja.” Eza to the point.

“Hah?” Dyon melongo. Kaget. “masa?”

“Iya. Waktu kelas 1 SMA, pagi-pagi pas mau sekolah gue make ganja. Mabok-mabokan. Tapi sekarang udah nggak lagi.”

“Oh.” Tanggapan Dyon hanya sebatas itu. Tapi dalam hatinya, bener-bener kaget, nggak nyangka aja.

“Gue sekedar ngasih tau, biar Dyon nggak kaget-kaget banget nantinya.”

“Dulu… gue pernah ditembak sama cowok yang pernah narkoba juga, dan gue langsung hilang rasa.”

“Lo hilang rasa sama gue?”

“Kalo lo, nggak. Gue tetep suka sama lo.”

“Bagus deh…” Eza tersenyum. Manis juga.

Mereka berdua keliling-keliling Blok M Plaza. Nggak ada yang ingin dicari. Nggak ada yang berhubungan dengan anime, kesukaan Dyon.

“Abis ini kemana?” Tanya Eza kehabisan ide.

“Ke warnet aja.”

“Gue nggak ngerti internet.” Eza gaptek.

“Lo liatin aja. Gue yang maen.”

Di Warnet yang namanya G@te-net.

“Mau buka apa ya? Hmm… friendster aja deh.”

Eza yang gaptek, nggak ngerti istilah-istilah teknologi jaman sekarang.

“Apa tuh friendster?”

“Capek deh… Pokoknya di friendster lo bisa nyari temen baru sebanyak-banyaknya.”

“Oh.” Eza mengohkan saja. Padahal masih belum ngerti.

Dyon meng-add beberapa teman. Mulai bosan dengan friendster, Dyon membuka website yang isinya tentang curhat-curhatan namanya The Lonnee, curahan hatimu. (baca: Loni).

“Gue mau curhat nih… Eza jangan liat ya.” Kata Dyon.

“Iya, nggak liat kok. Tutupin pakai topi aja.” Eza mengulurkan topinya.

Dyon sambil mengetik curhatannya, sambil menutupi layar computer dengan topi Eza yang belakangnya jaring… kayak model-model topi jaman sekarang.

Dear Lonnee,,

Aku Dyon… mo curhat lagi. Lonee tau kan,dulu aku suka sm tmnku yg inisial nmny Ra. Tp skg aku baru aja pacaran sm tmnku yg lain… Aku tau aku suka sm pacarku itu,,perasaan pacarku jls sm jg… tp… di lubuk hatiku yg plg dlm,,nm Ra masih ada. Pdk kata,,hati aku terbagi-bagi. Aku musti gimana dong? –slm syg dg pnh hrpan & kebingungan… Dyon ^^”

Dyon mengklik ikon sending messages. Ur messages sending.

Dyon melirik ke arah Eza. Kayaknya aman deh. Dyon senyum-senyum aja. Eza membalas senyuman Dyon, tapi dengan raut wajah yang aneh.

“Nah sekarang mau buka website apalagi ya? Aha… gimana kalo primbon? Liat foto-foto setan yuk, za.”

“Dyon… lo suka sama orang lain ya?”

Deg…Jantung Dyon langsung berdegup kencang.

“Eh… ngg……” Dyon mati kata-kata. Lalu Dyon terdiam.

“Siapa yon namanya? Inisialnya Ra, ya?”

Kok Eza bisa tau. Batin Dyon.

“Eza tau darimana?”

“Gue ngebaca curhatan lo tadi.”

“Kok bisa?”

“Bisalah. Kan topi belakangnya jaring-jaring.”

“Kenapa Eza ngebaca? Curang.”

“Lo kan cewek gue.”

Ah iya juga. Gue ceweknya Eza. Jadi Eza berhak tau apa yang gue lakukan dan gue tulis. Batin Dyon.

“Memangnya gue nggak boleh ya?” Tanya Dyon jelas menandaskan hati Eza saat itu.

“Itu terserah Dyon… tapi sekarang Dyon cewek gue.”

Dyon membisu. Tapi tangannya tetap mengetikan alamat website.

“Yon… gue sayang sama lo, yon…” Eza mengenggam tangan Dyon erat. Dyon menghentikan permainan internetnya.

Eza membelai rambut sebahu Dyon. Kelihatan sayang banget sama Dyon. Kemudian mencium tangan Dyon. Dyon langsung meleleh… baru kali ini diperhatiin banget sama cowok.

“Dyon… gue sayang banget sama lo…”

“Gue juga sayang sama Eza…” Dyon mencium tangan Eza balik. “Dyon akan berusaha ngelupain orang itu…”

“Hmm… iya…”

Eza mengecup kening Dyon. Suhu tubuh Dyon meningkat. Jadi panas.

Ya Tuhan, baru kali ini… hua… batin Dyon kelabakan dalam hati. Rael jadi menghilang sekejap di hatinya.

Penjaga warnet keliling meriksa computer. Mereka berdua dilihat. Langsung buru-buru saling ngejauh.

Aduh malunya… Batin mereka berdua. Masa bermesraan di warnet, tempat umum?

Penjaga warnet itu (-_-;) sendiri… lalu pergi.

“Tuh kan diliatin.”

“Eza sih.”

Suasananya udah mulai biasa, mereka berdua ketawa-tawa padahal membuka website yang isinya gambar-gambar setan. Namanya juga lagi kasmaran.

Pulang dari kencan pertama yang minimalis tapi sedikit menyayat hati Eza; naik bus. Di bus… Dyon bisa merasakan kegalauan hati Eza. Eza yang duduk di sebelah Dyon, menyenderkan kepalanya di bangku bus sambil menatap kosong. Dyon sedikit melirik Eza. Mata Eza agak berkaca-kaca… Dyon nggak begitu mengerti, tapi Dyon tahu Eza sedih dengan kenyataan tadi.

Eza pasti sangat kecewa.

Minggu ketiga bulan Agustus… masih musim panas…

Kadang-kadang Dyon masih suka menceritakan tentang Rael yang atlit karate itu. Berkata bahwa mau ngajak Rael ke Dufan, tapi mungkin nggak bakalan jadi. Tentu saja Eza gondok mendengar Dyon yang ngomongin cowok lain. Gimana rasanya kalo Eza yang ngomongin cewek lain, pasti Dyon marah. Dasar Dyon.

Tapi namanya juga rasa sayang. Sesuka-sukanya Dyon sama Rael, masih sayangan Dyon sama Eza. Soalnya Dyon sengaja, biar nggak suka satu orang aja yakni Eza. Biar kalo sakit hati, nggak sampe hati pengen bunuh diri. Dyon dikasih tau dari teman-temannya dan ibunya.

Eza, orangnya perhatian banget. Selalu ngingetin makan, dan jangan tidur kemalaman. Memang sih itu keliatan standar, tapi Dyon kan baru ngalamin hal ini. Ditambah lagi… Eza yang gokil itu suka banget ngomong dengan kata-kata yang bikin berdegup kencang.

“Yon, gue pengen ngomong sesuatu sama lo.”

“Apa?”

“Eh tapi jangan deh. Entar lo marah lagi.”

“Nggak kok. Nggak marah.” Dyon jadi deg-degan. Jangan-jangan ada berita buruk?

“Gue… sayang banget sama lo yon.”

Dyon langsung terbang. Tapi munafik, “Ya elah kirain apaan!” Eza tersinggung nggak ya?

Hubungan mereka belum ketahuan sama orang tua.

Eza masih bekerja part-time di toko buku itu. Dyon menghampiri Eza yang selesai part-time hari itu. Makan siang dulu di KFC. Honor part-time masih ada, jadi masih bisa mentraktir. Rio dan Imel ditraktir Dyon juga. Dyon memang murah hati sama teman-temannya kalo lagi ada rejeki.

“Habis ini, lo mau pergi ke rumahnya Dyon, za?” Tanya Rio.

“Ngawur. Ya enggaklah. Nggak mungkin gue berani ke rumahnya Dyon. Bisa digorok leher gue sama bonyoknya Dyon.”

“Gue yang digorok tau, bukan lo, za. Lo kan anak orang.”

“Gue mau ke rumah neneknya Dyon, maen komputer… sekalian…” Eza memandang Dyon penuh arti.

Deg… deg… deg… jantung Dyon berdetak cepat. Dyon mengerti maksudnya. Duh jadi nggak enak badan…

“Oh… ngerti, ngerti.” Rio langsung tau. Lalu membisiki Eza.

“Iya betul!”

“Hati-hati jangan kebablasan.” Imel memperingatkan. Niatnya sih bercanda.

“Apaan sih. Udah, udah.” Dyon jadi malu sendiri.

------------------------

“Udah ya! Bye!!!” Dyon melambaikan tangannya ke Rio dan Imel.

“Bye!! Hati-hati ya!!”

Sekarang Dyon dan Eza jalan berdua lagi. Menuju rumah neneknya Dyon. Lumayan jauh sih perjalanannya. Tapi nggak kerasa soalnya sambil ngobrol dan santai.

Di rumah neneknya Dyon. Di ruangan computer yang terpisah dari rumah utama. Pura-puranya ada tugas sekolah buat diketik di computer. Sambil mendengarkan MP3 di computer.

Dyon agak sembunyi-sembunyi, mengajak Eza, biar nggak dilaporin ke orangtua Dyon. Tapi tetep aja mencurigakan, tante-tantenya Dyon bolak-balik ke ruangan computer buat memeriksa Dyon. Dyon pun nggak mengkunci ruangan computer dari dalam, soalnya bisa keliatan lebih mencurigakan.

Akhirnya nggak ada lagi yang mondar-mandir ke ruangan computer. Dyon dan Eza bebas main computer.

Ke Word document… sok-sok’an buat tugas Bahasa Inggris.

“Aduh bingung mau nulis apaan nih, za?”

“Tulis apaan kek.”

Karena bingung pengen nulis apa… Dyon pun nulis…

Eza,, gue sayang sama lo

Eza ngerti maksud Dyon. Chat-chat’an nih.

Gue juga sayang sama lo

Gue lebih dari lo…!!

Ah masa sih… gw ga percaya.

Yah kok nggak percaya.

Boong kok. Gw prcaya sama lo. Tapi malah kebalikan kan, lo yg ga prcaya kalo gue sayang sama lo.

Iya, gue nggak begitu percaya

Kenapa nggak begitu percaya sih

Soalnya ga ada buktinya sih

Apa yang bisa gue buktiin

Apapun yang bisa lo buktiin

Apa ya… tapi nanti lo kaget lagi

Ga.. gue nggak akan kaget

Bener nih

Iya… gue udah siap…

Eza tersenyum lalu memandang mata Dyon.

Eza membelai rambut Dyon… mencium pipi Dyon yang ngegemesin itu.

Dyon lemas… tapi kayaknya ada yang kurang…

“Yang ini za…” Dyon nggak sadar menunjuk bibirnya.

Eza mencium bibir Dyon dengan lembut. Mata Dyon terbuka lebar-lebar. Kaget. Dyon sudah lama mengimpikan first kiss… dan terjadi juga… dengan Eza…

Sesudah berciuman, Dyon langsung bengong… karena kaget…

Ternyata kayak gitu rasanya. Batin Dyon. Lembut banget. Memang kayak makan marshmallow.

Dyon masih kaku… tatapan kosong…

“Heh… Dyon kenapa?” Eza agak ngerasa lucu melihat reaksi Dyon. Bagi Eza, itu sudah biasa. Karena Eza sudah berpengalaman banyak dalam pacaran. Dari yang biasa aja sampai panas banget.

“Kaget… baru kali ini…”

“Katanya udah siap, nggak bakal kaget.”

“Itu kan ngomong doang.”

“Udah… udah…” Eza menghapus chat mereka yang tadi dari layar word document. “lanjutin lagi. Entar tante sama om lo pada curiga lagi.”

“Eza…” tiba-tiba Dyon ngerasa aneh sama dirinya sendiri. “lagi dong…” Dyon jadi meminta.

Eza mencium bibir Dyon lagi. Kali ini setengah menit lebih lama dari yang pertama. Dyon memejamkan matanya… lebih terasa hangat dan lembut.

Dyon mulai sedikit terbiasa dengan Eza… tapi terasa menyenangkan.

Mendengar lantunan lagu My Heart memang cocok dengan suasana saat itu.

Tiba-tiba Eza merasa bergetar lagi… kali ini dengan sendirinya… kelihatannya perasaan sayang yang sesungguhnya.

Eza berdiri di hadapan Dyon… menunduk dan mencium bibir Dyon lagi. Hasratnya lebih besar dari yang tadi. Mungkin karena nafsu… Kali ini semenit lebih lama dari yang sebelumnya…

Dyon merasakan lebih kasar ketimbang lembut seperti ciuman pertama dan ciuman kedua… Dyon memejamkan matanya rapat-rapat…

Selesai berciuman, Dyon makin gundah… tapi tetap menyenangkan…

Eza kembali duduk di kursi lipat, di sebelah Dyon.

“Dyon… gue sayang banget sama lo yon. Sayang banget…” Eza memeluk Dyon dari samping.

Dyon bingung musti berkata apa lagi. Terlalu banyak ungkapan sayang oleh Eza.

Entah kenapa… tanpa disadari… tangan Eza sudah menyentuh dadanya…

Pergaulatan batin… disisi lain… nggak apa, Eza kan pacar Dyon, jadi terserah mau diapain aja nggak apa-apa. Disisi lain… jangan… lepasin tangan Eza, itu nggak baik, bukankah Dyon mau pacaran yang sehat, bukan pacaran nafsu kayak begini… kalo Rael… pasti nggak akan berbuat macam-macam…

“Eza…” tangan Dyon bergetar mengenggam tangan Eza yang menyentuh dirinya. Eza melepaskan tangannya yang menyentuh Dyon.

Dyon langsung syok. Diam. Menutupi wajahnya dengan rambut. Ingin menangis, tapi nggak sanggup… apa yang mau ditangisi… kecewa… iya… itu kan nafsu namanya. Dyon masih kecil… masih SMA… Masa pacaran harus nyentuh-nyentuh segala…

Bener kata-kata orang, kalo cowok dan cewek berduaan di tempat sepi, pasti ada setan lewat…

“Dyon? Dyon kenapa?”

“Eza… jangan sentuh Dyon… jangan…”

“Dyon nggak suka gue gituin… iya… maaf… gue yang salah…”

Plak!! Eza menampar tangannya sendiri dengan tangannya yang lain. Kencang. Tangan Eza merah.

“Udah, udah… Dyon jangan begitu. Nanti dicurigain… lihat semerawutan begitu… kalo gitu gue pulang aja deh…”

“Jangan pulang. Entar aja.”

“Iya, tapi jangan gitu dong…”

“Ta… tapi Eza janji ya… jangan megang-megang Dyon lagi…”

“Iya… gue janji…”

“Kelingkingnya mana?”

Dyon mengulurkan kelingkingnya. Dan menyatukan dengan kelingking Eza.

“Janji…”

“Gue pulang sekarang aja ya, yon. Udah sore, hampir maghrib nih.”

“Ya udah deh… entar dulu… gue shut down komputernya.”

Mematikan computer.

“Pamitan nggak nih?” Tanya Eza.

“Biar gue aja yang bilang…”

“Tante… temen Dyon mau pulang.”

“Oh iya.”

Dyon langsung keluar.

Dyon menghantarkan Eza sampai halte.

Di perjalanan…

“Dyon… kayaknya hubungan kita nggak akan bertahan lama deh.” Kata-kata yang jelas menyayat hati Dyon.

“Kenapa? Kenapa Eza ngomong kayak gitu?”

“Gue ngerasa aja.”

Sepanjang perjalanan, jadi agak garing.

Dyon nggak mengerti akan perkataan Eza. Mungkin memang nggak bertahan lama kalo kayak begini hubungannya… Sembunyi-sembunyi. Nafsu. Kesulitan bertemu. Dyon bener-bener nggak mengerti. Ingin menangis, tapi air mata sulit keluar. Jalani aja seperti sungai mengalir…

Akhir Agustus…

Hubungan Dyon dengan Eza ketahuan kedua orangtuanya. Karena Dyon terlalu jujur, dan nggak pandai menyembunyikan rahasia pribadinya. Mamanya bertanya, kenapa pergi ke toko buku terus… ada cowok disana? Dyon langsung mati langkah, Dyon nggak bisa berbohong kalau mamanya sudah bertanya seperti itu. Apa boleh buat, Dyon mengatakan sesungguhnya. Ternyata mama memberitahukan ke ayahnya yang killer itu. Sudah pasti Dyon nggak dianggap anak, apalagi tahu perbedaan besar Dyon dan Eza yang sangat kolot. Masalah religi. Dyon ditentang ayahnya.

Disuruh putusin… tentu saja membicarakan ke Eza. Dyon nggak mungkin putus sama Eza. Hubungannya baru jalan sebulan.

“Ketauan za…”

“Kok bisa?”

Dyon nyeritain yang sesungguhnya.

“Terus gimana?”

“Disuruh putus.”

“Jangan. Dyon sih! Kan gue udah bilang, diem-diem aja! Gue aja diem-diem aja.”

“Ya maap. Dyon susah boong.”

“Udah diemin aja.”

“Ya deh. Ato nggak gini aja deh. Eza nggak usah nelpon Dyon lagi. Biar Dyon aja yang nelpon. Soalnya disini, kalo ada cowok yang nelpon gue, kentara banget. Kalo Eza ada perlu, pake nama Aga aja ya. Dia teman sekelas gue, bonyok udah kenal, jadi nggak bakal curiga.”

“Iya deh.”

Awal bulan September…

Hubungan jarak jauh begini, meski nggak jauh-jauh amat, tapi Dyon kadang-kadang ngerasa curiga. Dyon nggak tahu apa yang Eza lakukan selama nggak ada Dyon, apalagi memang lebih banyak diri Eza tanpa Dyon disampingnya.

“Eza… kadang-kadang gue ngerasa sesuatu yang negative.” Dyon mendiskusikan di telepon.

“Apa yon?”

“Dyon dikasih tau sama beberapa temen Dyon… nggak boleh terlalu percaya sama Eza…”

Jelas Eza marah, “Kenapa? Kalo gitu Dyon pacaran aja sama temen Dyon?!”

“Temen gue, cewek.”

“Yang nggak apa. Cewek juga bisa dipacarin.”

“Eza jangan marah dong. Ya udah, Dyon minta maaf.”

“Habisnya… Dyon selalu nggak percaya sama gue. Ya udahlah, nggak apa…” suara Eza sudah agak tenang.

“Dyon nggak tau apa yang Eza lakukan disana.” Dyon terus terang.

“Gue juga nggak tau, apa yang Dyon lakukan disana.”

“Dyon nggak ngapa-ngapain.”

“Gue juga nggak ngapa-ngapain.”

“Yang penting saling percaya, yon.”

Dyon langsung sadar. Selama ini dirinya nggak mempercayai Eza. Lebih mempercayai kata-kata orang lain yang selalu berpikiran negatif. Pergaulatan batin lagi.

-------------------------

Walaupun, Rael nggak menanggapi semua perkataan Dyon lewat SMS. Dyon tetap belum menyerah. Waktu itu pernah, Dyon mengajak Rael ke Dufan karena lagi ada potongan harga. Tapi jawaban Rael hanya ‘liat nanti, gue usahain’. Sudah pasti ajakan Dyon ditolak.

Dyon memang nggak tau diri. Meski ajakannya ditolak, Dyon menceritakan hal itu kepada Eza. Dyon terdengar membangga-banggakan Rael sebagai teman. Tentu saja Eza makan hati.

Dyon sadar sendiri, bertanya kepada Eza.

“Eza. Lo nggak suka denger cerita gue tentang Rael.”

“Jelaslah nggak suka! Lo gimana sih? Coba kalo gue ngomong cewek lain, lo sebel nggak?”

“Ya sebel.”

“Ya sama aja kayak gue sekarang.”

-------------------------

Nggak lama beberapa hari sesudah Dyon menanyakan hal itu kepada Eza, Dyon tahu kebenaran yang sesungguhnya tentang Rael. Dyon mengetahui sendiri dari mulut Rael.

“Rael. Lo harus jujur… Lo udah punya pacar?” Dyon menanyakan dengan ragu di telepon.

“Udah.” Singkat Rael. Nggak bertele-tele. Memang Rael.

Menyesakkan.

“Sejak kapan?”

“Udah hampir 3 bulan.”

“Kenapa waktu itu, pas gue nanya… lo bilang lo belum punya cewek? Dua bulan yang lalu ra?”

“Kapan…?”

“Dasar… lo ngebohongin gue, Ra. Gue benci lo.”

“……” Rael hanya terdiam.

“Nggak… gue nggak benci lo. Gue suka sama lo. Suka sejak gue ngenal lo, sebelum ketemu lo…” Dyon jujur.

“Terus kenapa?” memang suara Rael pelan. Tapi dalem.

“Nggak apa… gue cuma ngasih tau. Lagipula gue udah punya cowok, lo juga udah punya. Udah ya ra. Makasih… Bye.”

Langsung aja Dyon menutup telepon. Menghentikan percakapan garing tapi nyakitin.

Berjalan pelan sambil tatapan kosong ke kamarnya.

Benci! Pembohong! Benci! Gue benci Rael! Dasar ibliz munafik nggak berperasaan! Ibliz bermuka dua! Ke neraka aja lo sana!

Dyon berumpat kesal sambil banjir air mata dan ingus. Terus banjir. Hingga tertidur malam itu. Dengan harapan, esok hari ia sudah melupakan Rael… dan lebih mencintai Eza.

Minggu pertama bulan September…

Sepulang dari sekolah. Adiknya Dyon berkata bahwa tadi ada cowok yang menelepon, tetapi sewaktu ditanya dari siapa hanya menjawab dari temannya. Dyon sudah tau itu Eza. Siapa lagi? Pasti Eza ada keperluan yang sangat penting. Tidak mungkin Eza hanya iseng menelepon padahal Eza sudah tahu posisinya sebagai pacar Dyon tapi sembunyi-sembunyi.

“Halo, Eza? Tadi kenapa lo nelpon gue kan?” Tanya Dyon sudah hafal suara Eza.

“Iya yon. Tau nggak, temen lo tuh…” suara Eza sedikit parau dan kecewa.

“Temen gue? Temen gue yang mana?”

“Itu yang pernah ngomong ke gue sambil sok-sok nasehatin…”

“Anya?”

“Iya siapalah namanya.”

Anya adalah teman sekelas Dyon. Orangnya pandai bergaul jadi memiliki teman dimana-mana. Termasuk di sekolah Eza, SMA Binadaya. Dyon yang terlanjur polos, menceritakan kisahnya dengan Eza kepada Anya. Padahal Anya termasuk cewek yang terlihat baik tapi sebenarnya, suka menusuk orang dari belakang. Dyon belum tahu Anya adalah teman seperti itu, sebelum Dyon diberitahu sama salah satu teman Anya –sebenarnya temannya Anya itu munafik, sesungguhnya banyak yang hanya berpura-pura berteman dengan Anya -.

“Kenapa?”

“Dia bilang hal-hal yang buruk tentang gue ke beberapa teman gue, dan sekarang temen-temen perempuan gue mencap buruk gue.”

“Tunggu, za. Gue nggak begitu mengerti.”

“Iya yon. Temen-temen perempuan di kelas gue pada ngomong pedes ke gue… kayak ‘wah parah lo za, lo kok ngancurin anak orang lagi’… gitu yon. Kan kayak gue penjahat aja yon. Salah satu temen gue bilang, itu dari temen lo itu… Memangnya lo ngomong apa aja sih sama temen lo itu?” Eza keliatan marah.

“Gue hanya curhat kok sama Anya… Dan gue tadinya nggak tau kalo ternyata Anya itu suka nusuk dari belakang. Maafin gue za… gue minta maaf sebagai temannya Anya.”

“Iya… jangan sebut nama dia lagi… gue eneg dengernya.”

“Ya, ya… tapi sekarang Dyon mau nanya deh, memangnya Eza ngerasa udah ngancurin hidup gue?”

“Nggak.”

Ternyata Eza udah lupa masalah ‘itu’.

“Hmm… ya udah kalo gitu Eza nggak usah dipermasalahin.”

“Tapi gue nggak suka aja yon, dengan sikap temen lo itu yang terlalu ikut campur urusan orang.”

“Ya udah, ya udah… tadi Dyon kan udah minta maaf. Apa perlu gue minta Anya untuk minta maaf sama lo?”

“Nggak usah, nggak usah… segen gue. Lagipula orang kayak gitu, mana peduli sih sama kesalahannya…”

Dyon hanya menelan ludah. Belum pernah Eza seperti ini. Kelihatan begitu marah meski tidak teriak-teriak.

“Ya udah deh yon. Gue pengen belajar nih…!”

“Oh ya udah deh. Bye!”

“Yo!”

Dyon sudah merasakan sikap dingin Eza… Jadi kelu… Dyon hanya pasrah.

Selama bulan September… yang katanya September Ceria…

September Ceria apaan? September sengsara sih iya! Dyon benar-benar gundah dan hampa. Entah kenapa sejak peristiwa Eza dicacimaki sama teman-temannya, Eza jadi semakin menjauh saja. Ditelepon selalu nggak ada –Dyon juga ragu kalau timing nggak pas, masa selalu nggak pas?-. Dyon bertanya kepada Imel maupun Rio, nggak tahu menahu soal Eza, Eza nampak biasa-biasa saja. Curiga juga… apa jangan-jangan ada cewek lain, tapi sebatas pandangan Rio yang lumayan dekat dengan Eza, Eza masih biasa-biasa aja… nggak nampak berbeda di depan salah satu teman perempuannya.

Jadi karena apaan dong?!

Sempat sesekali nyambung… dan akhirnya bisa berbicara dengan Eza. Tapi Eza begitu dingin dan cuek, nggak ada sikap hangat dan ceria seperti Eza yang dikenal Dyon. Kenapa dengan Eza? Kemana Eza yang dulu?

Perasaan Dyon semakin lama semakin mendalam kepada Eza. Perasaan Dyon kepada Rael sepertinya sudah punah. Dyon merasa sakit menusuk di hatinya. Ulu hatinya benar-benar tersayat dalam.

Kata-kata mereka, tidak boleh menyukai satu orang saja, kelihatannya diingkari Dyon. Karena Dyon hanya mencintai Eza. Terbukti luka hati begitu lebar.

Apa cinta memang begini?! Indah awalnya saja… tapi tragis akhirnya…?? Batin Dyon. Ia menangis sendiri... Air mata dan ingus berlomba-lomba mengalir sampai akhirnya membentuk gugusan pulau di bantal.

Akhir September… September Sengasara…

September sengsara sudah hampir berakhir. Apakah nanti berlanjut lagi kesengsaraan ini, menjadi Oktober Menderita? Dyon nggak tahu… Dyon bukan peramal maupun dukun. Yang Dyon tahu, dirinya sebagai Subyek yang sengsara dan menderita karena kekejaman cinta… duileh… apa cinta memang norak begini…?

Kesengsaraan bulan September ternyata belum afdol. Karena Dyon mendapatkan kejutan yang penuh dengan hujaman pisau yang menusuk hati.

Dyon mendapatkan informasi dari Rio (baru dapat), bahwa Eza merencanakan putus dengan Dyon. Dyon nangis darah. Soalnya perasaan cintanya mekar di September penuh kesengsaraan ini.

Setelah tahu kenyataannya, ternyata Eza masih tandas soal Anya yang telah menyebarluaskan kehinaan Eza yang nggak sesuai kenyataan kepada teman sekelasnya. Teman-teman sekelasnya belum kalut menghina Eza setiap hari. Itu jelas membuat Eza tak nyaman… secara tidak langsung… terhadap kehadiran Dyon.

“Gue ngerasa lebih nyaman menjadi sahabat Dyon daripada pacar…” suara Eza begitu lembut. Kelembutan Eza malah membuat Dyon nggak ingin melepaskan Eza.

“Nggak! Kok Eza gitu?! Eza jahat. Dyon udah terlanjur cuma sayang sama Eza! Dyon udah nurutin kemauan Eza! Dyon cuma suka sama Eza! Nggak ada orang lain yang gue sayang selain lo! Eza nggak bisa segampang itu ngomong kayak gitu cuma karena omongan satu orang aja! Eza nggak boleh berubah karena orang lain!!”

Eza sedikit nggak tega sama Dyon. Memang Eza belum benar-benar memutuskan putus dari Dyon. Eza juga merasa nggak sanggup pacaran yang seperti ini. Begitu terbatasi ruang geraknya. Mau ketemu saja susah. Kalaupun bisa ketemu, orang tuanya nggak memberi ongkos dengan wajar. Masa mau ketemu pacar cuman dikasih ongkos seribu perak? Buat naik bus aja, pasti diturunin di tengah jalan sama keneknya.

Ditambah lagi perkataan teman-temannya yang jelas bikin hati Eza nggak terasa santai lagi. Eza memang cowok santai yang nggak mau repot.

Juga sikap Dyon yang kadang-kadang egois seperti anak kecil. Dikit-dikit ngambek gara-gara Eza nggak ada dirumah. Sudah tau hobi Eza keluyuran… paling nggak betah diam dirumah…

Eza tidak mengerti…

Dyon lebih tidak mengerti…

Kesuraman hati ini harus segera berakhir.

Tapi… entah kapan berakhir…

Bangunkan aku ketika September berakhir… batin Dyon ketika mendengarkan lagu Green Day – Wake me up When September End.

Awal Oktober… Oktober Menderitakah…?

“Dyon pengen ketemu Eza.” Keinginan Dyon, soalnya sudah sebulan mereka tidak saling bertemu… pantas saja hubungan mereka selalu memburuk.

“Ya udah. Gue usahain. Sekalian buka puasa ya.” Eza bener-bener nggak tega sama Dyon, cewek lucu yang pernah ia sayangi… mungkin sekarang sudah nggak begitu…

Sepakat bertemu di terminal Blok M jalur 4 jam 4 sore… sepertinya angka kematian. Aneh. Dyon dan Eza jadian tanggal 6… itu angka buruk juga, kalo 6’nya berlipat tiga jadi angka setan. Meskipun angka genap tapi terdengar ganjil. Apa selama ini hubungan mereka juga ganjil.

Sebelum jam 4 sore, Dyon sudah sampai di terminal. Alhasil Dyon memang selalu menjadi penunggu yang setia dan sabar. Jangan sampai kesialan Dyon terulang lagi… ada 2 kesialan tentang menunggu…

Pertama… menunggu Rael selama 2 jam dan akhirnya nggak jadi dengan alasan lupa karena ada latihan. Dalam hal ini, Rael bukan siapa-siapa Dyon, hanya teman biasa.

Kedua… menunggu Eza selama 3 jam dan akhirnya nggak jadi dengan alasan lupa karena ngebantuin ibu nyiapin acara keluarga buka puasa bareng. Dalam hal ini, lebih parah, Eza adalah pacar Dyon, teman istimewa.

Mana ada seorang cewek menunggu pacarnya yang adalah cowok (tentu saja) selama itu dan akhirnya nggak jadi.

ARRRGGGHHHH!!! CUKUP!!!!

Untuk mengatasi feeling Dyon yang penuh dengan feeling sial itu, Dyon menelepon Rika… sekedar iseng. Soalnya udah hampir jam setengah lima.

“Rik. Gue lagi nungguin Eza nih.”

“Hah lagi? Jangan sampe nggak jadi kayak waktu itu deh.” Ujar Rika. Soalnya waktu itu Rika pernah kecipratan kesialan Dyon, Rika nemenin Dyon menunggu kedatangan Eza. Dyon sih enak, ada temen buat nangis. Nah Rika, capek sih iya.

“Mudah-mudahin sih, soalnya gue nggak ada temennya sih.”

Dyon cemas, nengok-nengok kebelakang…

Di kejauhan Eza datang… dengan seorang teman laki-laki disampingnya…

“Rik. Eza udah dateng nih.” Dyon bahagia.

“Bagus deh.” Rika lega. Rika nggak mau liat Dyon sakit lagi.

Eza menghampiri Dyon. Eza sudah tau itu Dyon, dari kejauhan.

“Hai!” sapa Dyon. Garing.

“Hmm!” Eza hanya tersenyum. Basi.

“Eza ini Rica… Rica mau ngomong sama Eza nggak? Ngomong apa kek gitu?” bisik Dyon di telepon.

“Iya udah mana orangnya?”

“Halo?” Eza ngomong dengan Rica di telepon.

Eza hanya cengar-cengir saja. Sesekali tertawa kecil. Hanya sebentar.

“Nih, mau ngomong sama lo lagi, yon.” Eza memberikan gagang telepon umum itu.

“Rica, lo ngomong apa?”

“Cuma ngomong, baik-baik aja ya sama Dyon.”

“Huh dasar. Kirain apaan. Eh udahan dulu ya.”

“Hmm ya udah. Good luck.”

“Bye!”

Dyon menutup gagang telepon umum itu.

“Oh ya Dyon. Ini temen gue, namanya Andri.” Eza memperkenalkan temannya itu.

“Andri.’

“Dyon.” Bersalaman.

“Eh nama lo mirip kayak nama kakak angkat gue, hehehe…” Dyon nyengir.

Andri pun hanya tersenyum.

“Sekarang kita kemana nih?” Tanya Dyon.

“Ke Blok M Plaza aja.” Ujar Eza. “sekalian ngulur waktu… buat nunggu buka puasa.”

Mereka pun menuju Blok M Plaza.

Di jembatan penyebrangan, penuh sesak pejalan kaki yang melintas. Eza dan Andri berjalan sangat cepat, nyalip-nyalip. Sementara Dyon merasa tandas, karena hanya dapat melihat punggung Eza dari belakang, jadi nggak semangat.

Eza menjauh… Dyon benar-benar terluka. Luka batinnya terus mendalam.

Tapi tiba-tiba Eza dan Andri berhenti. Mereka merasa Dyon terbelakang.

Eza menunggu Dyon…

Dyon pun agak buru-buru.

“Jalannya cepet amat.” Dyon protes.

“Dyon jalan duluan deh…” Eza menyuruh Dyon jalan di depan mereka, biar lebih terawasi dan nggak ketinggalan lagi.

Entah terharu atau tetap sedih… Dyon merasa ada keganjalan di hatinya.

Sesudah adhzan magrib, mencari tempat makan untuk berbuka puasa. Tapi penuh semua. Akhirnya ada juga restoran yang agak longgar, Hoka-Hoka Bento. Dyon mengeluarkan koceknya lagi. Apa boleh buat.

Dyon sih nyaman di Hokben, karena Japanesse Food kegemarannya. Andri pun asik-asik saja. Tapi Eza… lidah orang Indonesianya memang nggak cocok. Eza nggak menghabiskan nasinya, padahal nasi Jepang kan enak. Payah.

Eza protes, katanya dia nggak mau lagi makan di restoran Jepang. Payah.

Mereka bertiga duduk-duduk sebentar di eperan di depan Blok M Plaza. Sambil merokok, Dyon dan Eza mengobrol. Dyon berusaha menahan pengapnya asap rokok. Andri pun membiarkan mereka berduaan, jadi Andri duduk-duduk sambil merokok di motornya.

“Untung aja tadi ada Andri, jadi gue bisa nebeng, tapi nanti bagi ongkos buat bensin motornya ya?” ucap Eza. Tanda-tanda pemalakan lagi. Dyon rela, asalkan bisa bersama Eza sebentar. Rokok aja Dyon yang traktir, lagi! Nggak apa, asalkan Eza bisa berada di samping Dyon sebentar.

“Ya udah deh. Ini ongkos buat bensin.” Ngasih uang lima ribu perak kepada Eza.

“Thanks.”

“Oh ya, za. Dyon pengen nanya, gue mau lo jujur…”

Eza menoleh.

“Eza masih sayang nggak sama gue?”

“Itu…” Eza nggak bisa ngomong apa-apa. Dari gelagatnya, kelihatannya perasaan sayang Eza ke Dyon sudah memudar.

“Kenapa? Eza udah nggak sayang sama gue. Oh ya udah deh nggak apa. Berarti gue bertepuk sebelah tangan.” Dyon tertawa kecil. Dalam hatinya sakit banget.

Eza ikut tertawa kecil karena kepolosan hati Dyon.

“Gue nggak tau… tapi hanya sejak teman lo itu ngomong ke temen-temen gue… nggak tau kenapa gue ngerasa nggak nyaman…” ungkap Eza jujur.

“……” Dyon hanya terdiam. Masih sakit.

“Tapi… disini masih ada kesempatan…”

“Eh?” Dyon jadi berharap.

“Gimana cara lo untuk buat gue sayang sama lo seperti dulu lagi. Terserah lo gimana caranya. Lo nanya ke temen deket gue kek, Fivi, mau nanya Rio… atau gimana itu terserah Dyon…” Eza benar-benar nggak sampai hati untuk mutusin Dyon sepihak. Mungkin dalam lubuk hati terdalam, perasaan sayang itu masih sembunyi.

Dyon jadi semangat, “Ok. Hmm… gimana ya? Ok! Ok!”

Eza tersenyum lagi melihat tingkah Dyon. Yang kadang-kadang pemalu, kadang begitu berani, kadang sedikit dewasa, kadang terlalu kekanak-kanakan dan penuh daya khayal.

“Eza… waktu itu Eza pernah janji ingin nyeritain keadaan keluarga Eza sama gue?”

“Oh itu… nggak usahlah. Nggak penting dibahas.”

“Ayo dong, Eza kan udah pernah janji.”

“Ya udah deh…” Eza bercerita. “di keluarga gue… lo tau kan, terdiri dari 10 anak, nah… dan lo tau… yang tersisa di rumah yang gue tinggalin Cuma bokap nyokap, 2 abang gue yang udah kerja, dan gue yang masih pelajar sekolah tapi angot-angotan ini.”

Dyon ngangguk-ngangguk, udah mengerti.

“Jadi… bokap dan nyokap gue kayak ngebeda-bedain gue sama kedua abang gue yang udah kerja. Pendek kata, ngebeda-bedain kasih sayang. Gue tidur dikit, bangun-bangun diomelin, dibilang tidur mulu. Padahal gue udah ngerjain semua pekerjaan rumah dimulai dari nyuci piring, nyapu sampai nyuci baju. Sedangkan abang-abang gue yang nggak ngapa-ngapain, mereka tidur seabad pun nggak diomelin…” Eza begitu serius bercerita.

Dyon semakin mengerti Eza… Satu lagi yang bikin Dyon tambah jatuh cinta.

“Kondisi ekonomi keluarga gue menurun… bokap gue udah nggak kerja. Dulu nggak begini…” ungkap Eza jujur.

“Gue juga za. Sama. Malah lebih terpuruk.” Selama ini Dyon berusaha tegar menghadapi kondisi ekonomi keluarga. Biar nggak makin menjadi beban batin.

Lupakan ekonomi… lupakan… itu nambah beban Dyon aja.

Yang Dyon tahu, Dyon tambah sayang Eza, dan bakal berusaha…!

Tapi entah apa yang akan terjadi selanjutnya… Let it flow as a river…

-------------------------------------------<>--------------------------------------

“DYON BANGUNN!!!” seru mama nyaring. Dyon langsung tersentak bangun dari tidurnya. Terbangun pula dari ingatan-ingatan masa lalu yang tidak begitu lampau dari detik ini.

Dyon melirik jam di HPnya.

“Buset, dah jam 6 lagi!” Dyon berseru dan langsung ngibrit ke kamar mandi.

Sarapan setangkap roti selai coklat, dan segelas teh hangat.

“Aku berangkat ma, ayah!!” Dyon marathon. Kelihatannya Dyon bakalan ngepas sampai disekolah. Dikarenakan jarak antara sekolah dan rumah yang cukup jauh, perantaranya bus kopaja.

Akhirnya sampai juga Dyon di sekolahnya, SMA Cetar (Cahaya Terang Tanah Air). Hampir saja dirinya terlambat. Dyon duduk disamping Sella, teman akrab cewek satu-satunya di kelas 3-IPSC.

“Ngepas banget, yon.” Ujar Sella.

“Iya nih. Gue kesiangan. Tadi malem kepikiran Rael dan Eza.”

“Rael? Lo kan udah punya Eza, ngapain mikirin Rael lagi?”

“Habisnya, sikap Eza berubah.”

“Lo berdua pacarannya aneh banget sih.”

“Mana gue tau bakalan jadi begini akhirnya.”

“Tapi belum berakhir kan?”

“Gue rasa hampir berakhir. Walaupun gue sebenernya nggak menginginkan hal itu.”

“Kalo kayak gitu, kenapa musti diperjuangin lagi sih?” Sella jadi kontra.

“Gue udah terlanjur sayang sama dia.”

“Halah… kalo sayang, tapi dianya begitu, mau ngapain lo? Masih ada Rael kan?”

Sella aneh. Sekarang dia malah mendukung Rael. Sella memang sedikit plin-plan.

“Lo ga tau, sel. Gue dimata Rael itu bukan siapa-siapa.” Dyon merasa hopeless. Sepertinya Rael memang tidak pantas Dyon perjuangkan. Atau… Dyon yang tidak pantas untuk Rael. Rael begitu jauh.

“Cari yang laen!!” seru Sella sebelum guru datang.

Ngomong sih gampang. Batin Dyon.

“Hei Dyon! Gimana kabar Echan lo?” Tanya Arden. Echan merupakan nama samaran panggilan untuk Eza. Semua anak kelas 3-IPSC mengetahui hal itu. Karena Dyon memang sangat sayang dengan Eza.

“Ya gitu. Dyon tambah sayang nih sama Echan.”

“Echan, Echan… Echan mulu. Dikit-dikit Echan. Bengong dikit Echan. Ampe bosen gue dengernya. Nggak ada apa kata lain selain Echan?” sahut Alexander sewot. Memang benar sih, Dyon memang selalu menggembor-gemborkan kata ECHAN seperti barang sale.

“Hu dasar Dyon! Echan mulu sih!” seru Lintang, temannya yang lain.

Dyon hanya mengubarkan senyum pura-pura bahagia, dalam hatinya makin hancur. Benar-benar hancur, nyaris lebur. Dyon memang naïf.

“Aduh Sel, yon. Tau nggak, kemaren gue ngaret janjian sama cowok gue. Dia tuh niat banget nungguin 2 jam. Habisnya gue ketiduran sih.” Cerita Lintang kepada mereka berdua.

“Kalo gitu, yang salah dan bego siapa?!” ucap Sella.

“Gue.” Lintang mengakuinya.

Dyon hanya bisa diam saja. Dalam hati Dyon, huh… lu mah enak ditungguin 2 jam, nah gue waktu itu nungguin 3 jam. Masih untung lo ditungguin daripada nungguin. Itu artinya cowok lo setia. Nggak kayak Eza!

Karena guru belum datang, mungkin terlambat. Semuanya jadi agak bebas dan sedikit ribut. Termasuk Dyon dan teman-teman ngobrolnya.

“Gue lagi marahan nih sama cewek gue. Tapi gue mau baikan, kira-kira kasih apa ya yang bikin dia nggak marah lagi sama gue?” Tanya Alexander ikutan curhat. Soalnya jarak tempat duduknya saling berdekatan.

“Bunga! Itu paling rasional banget, lex!” usul Arden yang udah berpengalaman dalam cinta.

“Basi ah bunga! Mending boneka, biar bisa dipeluk.” Usul Sella.

“Hu! Itu mah mau lo aja!” ledek Lintang.

“Kalo menurut lo yon?” Alexander bertanya kepada Dyon yang daritadi murung.

“Nggg…” Dyon nggak bisa ngomong apa-apa.

“Tampang lo dari tadi kok muram banget deh. Kenapa sih?” Lintang ingin tahu.

“Nggak apa. Kalo menurut gue sih, cincin…” Dyon jadi mengucapkan apa yang ia inginkan apabila suatu saat nanti (tapi nggak mungkin), Eza ingin memberikan sesuatu kepada Dyon.

“Yah kayak mau kawin aja dong.”

“Nggak juga. Bukan cincin yang dipasang di jari manis, tapi yang dipasang di kelingking… menurut gue itu artinya janji…” Dyon jadi mengungkapkan isi hati dirinya.

Semuanya jadi bengong. Tumben Dyon bisa ngomong begitu. Biasanya omongannya penuh dengan ketololan dan kepolosan dirinya. Dyon yang mereka kenal, adalah Dyon yang perkasa. Semua teman cowok senang menjahili Dyon, karena Dyon orangnya lucu walaupun kalo ngebales perbuatan mereka, benar-benar dengan bogem perkasa.

“Dan Eza nggak akan pernah berpikir untuk memberikan sesuatu ke gue… kisah gue benar-benar berbeda dari kalian semua…” Dyon hanya meringis, tapi nggak sampai hati menangis, kan malu.

Yang lain jadi mengerti.

“Udah… kalo gitu kita ganti topik aja.” Usul Alexander.

“Sori ya yon… bikin lo sedih. Udah nggak usah dipikiran lagi.” Lintang berusaha menghibur Dyon.

“Hmm…” Dyon hanya bisa mengangguk. Tapi Dyon tidak yakin dirinya bakal nggak memikirkan Eza lagi.

Dyon semakin nggak mengerti. Kenapa hanya dirinya yang mengalami cinta yang bisa dibilang penuh kenaifan ini. Yang dialami Dyon benar-benar berbeda dengan kisah cinta remaja pada umumnya.

Semuanya berubah begitu cepat. Dan hanya Dyon yang merasakan sakit yang luar biasa. Dalam hati, Dyon menangis.

* * *