CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Friday, November 21, 2008

TWO SIDES WORLD *BAB DUA*

2. Hurting Heart

Sabtu, 11 November 2006

Dyon sudah nggak bisa menahan diri untuk bertemu dengan Eza. Maka, Dyon pun meminta bantuan Rio supaya mempertemukan dirinya dengan Eza. Dengan segala cara yang dibuat oleh Rio, akhirnya Eza pun mau bertemu dengan Dyon, yang sampai saat itu masih berstatus pacaran.

Dyon terlalu cepat datang di tempat janjian, di bilangan Gatot Subroto. Alhasil Dyon menunggu kedatangan Rio dan Eza. Dyon berpikir positif, pasti karena kemacetan lalu lintas kota Jakarta tercinta ini. Jadi jam 3 (waktu janjian) sudah terlewat.

Menunggu… lagi…? Kasian banget jadi orang kayak Dyon.

“Eh itu dia, Dyon!” Rio memanggil dari kejauhan. Dyon terlihat seperti kambing congek. Rio dan Eza baru sampai… naik bus umum.

Dyon hanya menatap, setengah senang, setengah dongkol ditambah sakit hati nunggu lagi… 3 jam + ½ jam… 3 ½ jam menunggu Eza.

“Eh... baru dateng ya.” Dyon pura-pura tersentak akan kedatangan mereka.

Eza tersenyum pahit. Dyon membalas dengan senyuman asam, karena melihat Eza yang begitu dingin.

“Dyon kangen sama Eza…” Dyon langsung merangkul tangan Eza.

“Eit, eit… malu… diliatin orang.” Eza menghindar.

Dyon hilang harapan lagi.

Jadi garing.

Dyon tak bisa mengungkapkan apa yang ingin ia ungkapkan, karena kesinisan Eza yang benar-benar berbeda, dari Eza yang Dyon kenal.

“Katanya Dyon mau ngomong sama Eza?” Tanya Rio.

“Ngg…” Dyon hanya bergumam tanpa makna.

“Mau ngomong apa? Cepetan. Habis ini gue dan Rio mau ke pesta ulang tahun temen… nggak enak kalo terlambat, apalagi kalo nggak datang.” Ungkap Eza seolah-olah jadi pengganggu acaranya. Sumpah, sikap Eza terlalu dingin. Angin dingin Kutub Utara seakan-akan menggelitik kulitnya… dan membekukan hatinya… sakit…

“Eza… boleh nggak… Dyon pingin duduk disebelah Eza sebentar… dan ngobrol sebentar.” Dyon minta izin. Kesannya formal. Benar-benar terasa asing.

Eza mengangguk tanpa sepatah kata pun.

Mereka bertiga duduk-duduk santai di eperan dekat tukang rokok dan minuman, sekalian nunggu bus.

“Eza… gue pengen bilang kalo sikap Eza makin berubah.”

“Ngg… nggak tuh biasa aja.”

“Apa usaha gue udah membuat kesempatan gue dan lo lebih besar??”

“Hmm… ya gitulah…” jawab Eza seadanya. “eh… hampir jam 4 nih. Acara ulang tahunnya Vina mulai jam 4 kan? Oh ya, Dyon… gue dan Rio cabut dulu ya. Soalnya beneran deh, mau ke ulang tahun temen…”

Hati Dyon tertusuk lagi, ini kan sama aja menghindar.

“Entar dulu dong Eza, Dyon mau ngomong sesuatu lagi.”

“Dari tadi mau ngomong sesuatu mulu… mana? Gue tungguin lo nggak ngomong-ngomong. Ngomong sih, tapi nggak makna.” Ucapan Eza sesejuk air danau di Kanada pas musim dingin. “ayo Rio. Kita cabut.”

“Eza…!” Rio seperti mau marahin Eza, tapi bingung musti ngomong darimana.

“Udahlah…!” Eza berjalan cepat, diikuti Rio. Dyon disamping Eza, tidak beranjak.

Di jembatan penyebrangan.

“Dyon anterin sampe ujung jembatan.”

“Ya udah, terserah Dyon.”

“Eza… Dyon mau nanya satu hal lagi.”

“Apa?”

“Eza masih sayang sama Dyon atau nggak?”

Eza terdiam sejenak, langkah kakinya terhenti.

“Gue harus jawab yang seperti apa?” Tanya Eza.

“Cukup jawab iya atau tidak.”

Eza diam lagi… lalu mulai menggerakkan bibirnya untuk berbicara. Senyumnya mengembang. Senyum tulus ini sudah lama tak hadir.

“Iya… iya Dyon.”

Dyon pun ikut mengumbangkan senyumnya.

“Yang bener? Coba ngomong yang lengkap? Kayak waktu itu… bilang, gue sayang sama lo, gitu.”

“Katanya jawab ya atau tidak aja?” Eza mulai jengkel.

“Dramatis dikit dong.” Dyon menggoyangkan lengan Eza.

“Nggak ah. Malu tau… sikap Dyon manja banget. Biasa aja, nanti dikira orang, lagi berantem!” Eza melepaskan tangan Dyon agak kasar. “udah ya. Da!!”

“Oh ya sudah… Bye!!!”

Eza nampak marah atas perilaku Dyon yang sedikit agresif. Eza tidak mengerti perasaan Dyon. Betapa Dyon merindukan Eza. Tapi Eza memang telah berubah. Firasat mulai terbesit… sepertinya hubungan seperti ini tidak akan bertahan lama.

Semakin lama Eza semakin menjauh… Dyon membalikkan badannya. Dyon tidak ingin melihat Eza semakin menjauh… nanti sesak. Karena suatu saat… cepat atau lambat, Dyon akan melihat Eza pergi. Hingga kehadirannya tak tampak lagi.

Sabtu, 18 November 2006

Pikiran Dyon sudah tak jernih lagi. Sikap idealisme, agresif, dan nekadnya mulai nampak lagi. Kebodohan yang seharusnya bisa ditampung, malah sengaja Dyon tumpahkan. Walaupun Dyon tahu dirinya akan menanggung rasa malu dan terluka. Hatinya yang kukuh menahan dirinya untuk tidak tinggal diam menunggu. Menunggu sampai luka hatinya terukir lagi? Lebih baik menghampiri luka itu. Daripada menunggu tak menentu… dan akhirnya sama-sama sakit.

Dyon berniat menghampiri Eza ke sekolahnya Eza, SMA Binadaya. Rencananya… mungkin Eza akan kaget karena kedatangan Dyon.

“Dyon… kenapa niat banget dateng kesini?” Tanya Imel, membantu Dyon mempertemukan dirinya dengan Eza.

“Iya. Gue ingin nanya ke Eza… mau Eza apa? Kenapa dia jadi berubah gini?”

“Apapun nanti kejadiannya. Gue mohon… jangan sampe lo nangis karena Eza ya. Karena Eza terlalu buruk buat lo tangisin. Sekali lagi gue kasih tau, Dyon. Lo itu cantik, lucu, baik, ramah, pinter… lo terlalu baik buat Eza. Eza tuh nggak ada bagus-bagusnya sama sekali.”

“Iya mel. Udah berkali-kali lo bilang kayak gitu. Tapi, perasaan gue nggak bisa gue tipu, gue sayang Eza apa adanya. Di mata gue, Eza itu ada sesuatu… sesuatu dibalik semua keburukannya. Gue tau itu… dan gue ingin tahu dia lebih banyak lagi.”

“Gue ngerti Dyon. Tapi lo harus mikir logis juga ya. Mikir pantas atau nggaknya. Pendek kata, Eza itu nggak pantas buat lo.”

“Hmm… lo pernah bilang itu. Kenyataannya, gue udah terlanjur sayang dia.”

“Satu hal… kalo lo sakit hati karna dia… jangan terlalu lama. Eza itu buang-buang waktu lo. Gue yakin, lo bakal dapetin cowok yang lebih baik dan lebih pintar dari Eza yang bego itu.”

Dyon hanya tersenyum kelu. Kelihatannya Imel kurang setuju dengan hubungan mereka. Apalagi niat Dyon menghampiri Eza ke sekolah.

Kringgg!!! Bel pulang SMA Binadaya berbunyi. Murid-murid SMA Binadaya yang masuk pagi, berhamburan keluar.

“Nah itu udah bel. Eza pasti ada di lapangan. Ayo gue anterin sampe lo ketemu Eza.” Ajak Imel. Dyon mengangguk.

Di lapangan rumput di depan SMA Binadaya, yang merupakan lapangan umum. Imel melihat Eza sedang duduk-duduk santai, lesehan, bersama teman-temannya. Dyon hanya celingak-celinguk mencari Eza, belum mendapatkannya.

“Itu Eza, yon!” ujar Imel.

“Mana?” mata Dyon kurang awas.

“Itu tuh, dia duduk di dekat pohon.”

“Mana sih??”

Dari kejauhan, kelihatannya Eza dapat memahami gerak-gerik Imel. Dan Eza melihat kedatangan Dyon walaupun dari jarak jauh.

“Eh?! Eh?! Dyon…! Eza mau kabur tuh? Cepet dikejar…” seru Imel spontan begitu melihat ancang-ancang Eza yang siap berlari.

“I… iya…!” Dyon spontan mengejar Eza. Eza benar-benar menghindar darinya.

Dyon berlari mengejar Eza. Kelihatan konyol. Kenapa Dyon harus mengalami kejadian menjengkelkan seperti ini. Dyon menahan air mata yang hampir jatuh dari pelupuk matanya.

Di sebuah tikungan, Eza langsung menghilang, karena larinya secepat kilat. Dyon tak dapat mengejar Eza.

Sebuah jalan yang sepi… di sebuah perumahan mewah yang kelihatan tak berpenghuni. Beberapa mobil yang diparkir di depan beberapa rumah mewah.

Dyon langsung berhenti begitu tahu, dia kehilangan jejak Eza. Sambil terengah-engah.

“Eza… Eza…!! Eza!!!” tangisan tak terbendung. Air mata mulai membasahi matanya. Pandangannya kabur.

Bruk!! Dyon jatuh tersimpu di aspal.

“Eza… kenapa lo jahat sama gue? Padahal gue hanya ingin ketemu sama lo… dan ngucapin beberapa kata…” air mata terus berjatuhan. Sendiri bersimpuh. Menanti kehilangan seseorang yang telah menemani hari-harinya walau singkat.

“Dyon…!” suara Eza. Eza keluar dari tempat persembunyiannya. Ternyata Eza bersembunyi di balik mobil Kijang yang diparkir di sekitar perumahan itu.

“Eza?” Dyon mulai bangkit.

“Sebelum lo ngucapin beberapa kata… gue ingin ngungkapkan beberapa kata juga… gue udah nggak sayang sama lo yon. Gue benci lo. Gue nggak suka sama sikap lo. Gue benci dengan cara lo ini. Sebaiknya kita udahin aja… kita putus…!”

Dyon tersenyum penuh kemunafikan.

“Kata-kata ini yang gue tunggu. Karena gue butuh kepastian… Bye-bye Eza!!” Dyon membalikkan badannya. Berjalan tegap berusaha tegar. Dyon dan Eza semakin berjauhan. Hingga tak akan pernah saling nampak, dan bertemu lagi.

Mata Dyon basah lagi… sembab… ingin ungkapkan kata ‘jangan putus’, tapi tak terungkap… sudahlah… memang seharusnya Eza pergi dari kehidupannya. Tapi Eza sudah mencoba merangkaikan benang ketulusan di hati Dyon. Walaupun Eza hanya pelangi sesaat yang menampakkan keindahan tak terungkap di dalam sanubari. Sanubari sesaat.

Tanggal 19 November 2006… Dyon patah hati (lagi!)

Tapakan langkahku terasa kaku

Mencari suatu yang tak pasti

Tertatih karna hati yang luka

Mawar yang merah

Membawa luka yang menusuk

Sanubari yang hampa

Datar tanpa gelombang

Menyisihkan sebutir harapan

Yang takkan terwujud

Karna badai yang lebat

Ingin kucabik-cabik

Dasar hati yang menggumpal

Membuat endapan yang mengeras

Terkikis oleh kasih yang hangat

Ada saatnya nanti…

Kulepaskan kenangan pelangi sesaat itu

Dan kusambut hangatnya mentari

Dear henohenomoheji…

Akhirnya Dyon putus dengan Eza. 3 bulan 2 minggu… Dyon berjalan bersama Eza… he is my rainbow… indahnya hanya sesaat jadi teringat lagu OVER THE RAINBOW,, tapi lagu itu nggak berhubungan dengan ini semua. Jadi ingin menyanyikan lagu WAKE ME UP WHEN SEPTEMBER END… karena hubungan Dyon dan Eza mulai tidak lancar sejak September… tapi bertahan lumayan juga… paling tidak, kenangan Dyon bersama Eza nggak akan pernah Dyon lupakan… Karena Eza adalah PACAR PERTAMA Dyon… jangan nangis Dyon… hiks hiks… ganbatte ne!!

Bye-bye ECHAN… My rainbow…!!! Fuh Rael gimana ya… kayaknya sudah nggak mungkin…(?)

_Dyon-chan_

Nb: smoga dapat pacar baru… ^^, +ntar patah hati lagi lho+ gapapah,, wee… :P

* * *

0 comments: